Pemerintah Indonesia kembali membuka keran ekspor pasir laut melalui penerbitan dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).
Kebijakan ini disorot oleh Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, yang dengan tegas mengkritik keputusan tersebut.
Menurutnya, langkah ini hanya akan memperparah kerusakan lingkungan, terutama di wilayah pesisir, seperti Pantai Utara Jawa yang kini mulai tenggelam akibat abrasi parah.
Susi bukan hanya menyuarakan kritik tanpa dasar. Ia mengajak kita untuk menelusuri dampak jangka panjang dari penambangan pasir dan sedimen laut, terutama terhadap ekosistem pesisir yang sudah terancam oleh perubahan iklim.
Dengan penambangan yang intensif, wilayah pantai akan semakin rentan, yang pada akhirnya berimbas langsung pada kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Dampak Ekologi yang Ditinggalkan
Penambangan pasir laut, meski mungkin terlihat sederhana, meninggalkan jejak kerusakan yang besar. Pasir dan sedimen yang diambil dari laut bukan sekadar material tak berharga; mereka adalah bagian penting dari keseimbangan ekosistem.
Di wilayah pesisir, pasir membantu menstabilkan daratan, mengurangi risiko abrasi, dan melindungi habitat penting bagi banyak spesies laut. Ketika pasir ini ditambang dan diekspor, wilayah pesisir menjadi semakin rentan terhadap erosi.
Kasus Pantai Utara Jawa, yang kini berangsur-angsur tenggelam, menjadi contoh nyata betapa seriusnya masalah ini. Sejak bertahun-tahun, abrasi telah menggerogoti daratan, menyebabkan sawah-sawah dan pemukiman warga hilang tertelan laut.
Sebagian besar dari kita mungkin tidak menyadari bahwa penambangan pasir adalah salah satu faktor penyebabnya.Â
Oleh karena itu, Susi Pudjiastuti dengan lantang menyerukan agar pasir dan sedimen yang diambil dari laut seharusnya digunakan untuk memperbaiki wilayah pesisir yang terdampak, bukan malah diekspor.