Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menyeberangi Jurang Generasi

20 September 2024   09:05 Diperbarui: 20 September 2024   10:31 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixnio.com

"Anakmu bukanlah anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu pada dirinya sendiri." -- Kahlil Gibran

Hubungan antara orangtua dan anak kerap kali seperti jembatan yang renggang. Apa yang dulu dianggap sebagai norma oleh orangtua kini menjadi perdebatan oleh generasi muda. 

Dalam dunia yang berubah cepat, banyak yang merasa ada jurang tak terlihat namun dalam, memisahkan orangtua dari anak-anaknya. Lalu, apakah ini hanya masalah zaman dan generasi? Ataukah ada hal lain yang lebih mendasar?

Jika kita melihat dari sudut pandang psikologi, hubungan orangtua-anak merupakan fondasi utama perkembangan emosi dan kesejahteraan seorang anak. 

Di sini, emosi adalah jembatan penghubung antara dua generasi. Namun, saat jembatan tersebut retak---karena kurangnya komunikasi atau perbedaan cara pandang---rasa kebersamaan perlahan terkikis.

Komunikasi sebagai Kunci

Tidak jarang kita mendengar keluhan dari kedua belah pihak: orangtua menganggap anak-anaknya terlalu sensitif, sementara anak-anak merasa orangtua terlalu otoriter. 

Ini mungkin bukan masalah baru, tapi dalam era digital, di mana segala sesuatu bergerak begitu cepat, pola komunikasi menjadi lebih kompleks. Riset dari UNICEF Parenting menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan jujur antara orangtua dan anak. 

Dengan mendengarkan secara aktif, orangtua dapat menunjukkan bahwa mereka peduli pada perasaan dan pikiran anak-anaknya, menciptakan ruang aman untuk berbicara tanpa takut dihakimi.

Komunikasi bukan sekadar berbicara, melainkan juga mendengarkan. Dalam percakapan sehari-hari, adakah kita benar-benar mendengarkan apa yang anak kita katakan? Ataukah kita lebih sibuk memberi nasihat yang, sayangnya, seringkali dianggap sebagai ceramah yang tak relevan?

Membangun Kepercayaan dan Koneksi Emosional

Kepercayaan adalah fondasi dari setiap hubungan, termasuk antara orangtua dan anak. Namun, membangunnya bukan hal mudah.

Psikolog anak dari Psychology Today menyarankan bahwa kepercayaan bisa dibangun melalui konsistensi. Ketika orangtua menepati janji kecil sekalipun---seperti pulang tepat waktu atau mendengarkan keluhan anak tanpa menghakimi---anak akan merasa aman dan terhubung secara emosional.

Empati juga memegang peran kunci. Dalam sebuah dunia yang penuh tantangan, remaja sering kali merasa dirinya tak dipahami oleh generasi sebelumnya. 

Menempatkan diri dalam posisi mereka---mendengarkan keluh kesah tanpa langsung memberikan solusi---adalah cara efektif untuk membangun koneksi yang lebih dalam. Anak-anak butuh merasa bahwa perasaan mereka diakui, dihargai, dan dipahami.

Cinta dan Batasan

Menarik garis batas bukan berarti mengurangi kasih sayang. Justru, batasan yang jelas dan penuh cinta memberikan rasa aman kepada anak. 

Mereka butuh tahu bahwa ada aturan yang mesti diikuti, tapi aturan tersebut haruslah dibangun berdasarkan dialog, bukan pemaksaan. 

Misalnya, bukannya sekadar melarang anak bermain gawai, alangkah baiknya jika kita mengajaknya berdiskusi tentang manfaat dan bahaya dari penggunaan teknologi. Hal ini membuat mereka merasa dilibatkan dalam keputusan yang memengaruhi hidup mereka.

Kualitas Waktu, Bukan Sekadar Kuantitas

Di tengah hiruk pikuk pekerjaan dan tanggung jawab sehari-hari, orangtua seringkali terjebak dalam rutinitas yang mengabaikan kebutuhan emosional anak. 

Ironisnya, ketika orangtua merasa telah memberikan yang terbaik secara materi, anak justru merasa diabaikan secara emosional. Menghabiskan waktu bersama tanpa distraksi seperti ponsel atau pekerjaan bisa menciptakan momen berharga yang mempererat hubungan. 

Riset dari Raising Children Network menunjukkan bahwa momen kebersamaan, sekecil apa pun, dapat memperdalam koneksi emosional.

Bukan kuantitas waktu yang dihabiskan bersama yang penting, tapi kualitas interaksi yang tercipta. Apakah kita benar-benar hadir saat bersama anak? Ataukah kita hanya ada secara fisik tapi pikiran kita melayang ke urusan lain?

Menjadi Contoh, Bukan Sekadar Guru

Anak-anak belajar bukan hanya dari apa yang kita katakan, tapi dari apa yang kita lakukan. Orangtua seringkali mengharapkan anak-anaknya memiliki nilai-nilai tertentu, tetapi tidak selalu memberikan contoh yang sesuai. 

Jika kita ingin anak-anak kita tumbuh menjadi individu yang penuh empati, bukankah kita harus terlebih dahulu menunjukkan empati itu dalam kehidupan sehari-hari?

Psikologi perkembangan menegaskan bahwa anak-anak meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya. Maka, jika kita ingin mereka bersikap hormat, jujur, dan bertanggung jawab, kita sendiri harus menunjukkan sifat-sifat tersebut. 

Anak-anak adalah cermin dari orangtua mereka, dan cermin itu tak pernah berbohong.

Mengakui Individualitas Anak

Setiap anak adalah unik. Meskipun terlahir dari rahim yang sama, pengalaman hidup dan cara pandang mereka bisa sangat berbeda. Di sinilah tantangan terbesar bagi orangtua: menerima bahwa anak mereka mungkin tidak selalu sejalan dengan harapan atau impian mereka. 

Mengakui individualitas anak berarti memberi mereka ruang untuk menjadi diri mereka sendiri, mendukung minat dan bakat mereka, serta merayakan pencapaian mereka, sekecil apa pun itu.

Membangun Jembatan pada Jurang generasi

Jurang generasi memang ada, tapi bukan berarti tak bisa dijembatani. Memulai bonding dengan anak tidak perlu menunggu momen besar. 

Sebuah percakapan sederhana, sebuah senyuman, atau bahkan sebuah pelukan bisa menjadi awal dari hubungan yang lebih dekat. Kahlil Gibran, dalam puisinya yang terkenal, mengingatkan kita bahwa anak-anak bukanlah milik kita. Mereka adalah individu yang berhak menjalani hidupnya sendiri. 

Tugas kita sebagai orangtua adalah menjadi jembatan yang menghubungkan mereka dengan dunia, tanpa memaksakan pandangan kita, tetapi tetap dengan cinta dan empati yang tulus.

Memulai bonding tidak sesulit yang dibayangkan. Yang dibutuhkan hanyalah ketulusan untuk mendengarkan, kesabaran untuk memahami, dan keberanian untuk menerima bahwa, pada akhirnya, mereka akan berjalan di jalannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun