Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

PON sebagai Bagian dari Narasi Nasionalisme yang Ketinggalan Zaman

19 September 2024   08:56 Diperbarui: 19 September 2024   08:58 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: HMI Desak Kemenpora Cabut Status Sumut Jadi Tuan RumahPON 2024 /viva.co.id 

"Olahraga bukan hanya tentang kemenangan, tapi juga tentang sportivitas dan persatuan," mengutip ajaran lama yang sudah sering kita dengar namun jarang dihayati lagi. 

Di atas kertas, Pekan Olahraga Nasional (PON) dirancang sebagai perayaan prestasi atlet dan ajang persatuan bangsa. Namun kenyataannya, semakin banyak yang meragukan relevansinya. 

Apa yang dulu dihidupi sebagai simbol perjuangan melawan kolonialisme kini tampak hanya tinggal rutinitas yang kehilangan rohnya.

Sejak pertama kali diselenggarakan pada 1948, PON dirancang sebagai landasan untuk mempersatukan daerah-daerah di Indonesia melalui semangat kompetisi yang sehat. 

Saat itu, di tengah euforia kemerdekaan, PON menjadi simbol kekuatan bangsa yang bersatu dalam menghadapi penjajahan. Namun, hari ini kita dihadapkan pada pertanyaan yang sulit diabaikan: apakah PON masih relevan sebagai simbol nasionalisme dan persatuan?

Hilangnya Sportivitas dalam Kemeriahan PON

Kemeriahan PON XXI Aceh-Sumut 2024 belum usai, namun berbagai masalah telah mencuat, mulai dari venue yang belum siap hingga isu kecurangan dan permainan kotor. 

Atap bocor, akses jalan yang becek, dan makanan yang tidak layak bagi atlet---ini adalah sekadar beberapa dari sekian banyak keluhan yang mencoreng perhelatan tersebut. 

Apa yang seharusnya menjadi panggung persaingan yang sehat telah berubah menjadi ajang untuk mempertontonkan kelemahan sistem, tidak hanya dalam hal manajemen tetapi juga moral.

Seolah itu tidak cukup, praktik bajak-membajak atlet antar daerah demi medali emas kian mencerminkan betapa sportivitas telah memudar dalam ajang yang seharusnya menjunjung tinggi integritas. 

Ini bukanlah olahraga, ini adalah permainan gengsi daerah, di mana medali bukan lagi penghargaan atas kerja keras dan talenta, tetapi sebagai alat untuk meningkatkan anggaran pembinaan dari pemerintah daerah. "Menang dengan cara apapun" tampaknya telah menjadi mantra baru.

PON: Simbol Kegagalan Sistem Olahraga Nasional

Banyak yang mungkin berpendapat bahwa PON adalah wadah untuk menjaring atlet muda yang potensial. Namun kenyataannya, ajang ini lebih sering didominasi oleh atlet profesional yang telah meraih prestasi internasional. 

Eko Yuli Irawan, peraih medali Olimpiade, masih turun di PON 2024 mewakili Jawa Timur. Begitu pula dengan Rizky Juniansyah, peraih medali emas Olimpiade Paris 2024. 

Apakah ini benar-benar mencerminkan semangat pembinaan atlet muda? Atau justru menghalangi kesempatan bagi para talenta baru untuk bersinar?

Dalam sistem olahraga di negara-negara maju, fokusnya adalah pembinaan jangka panjang dengan menyediakan panggung bagi para atlet muda untuk berkembang. 

Sebaliknya, di Indonesia, PON lebih sering menjadi ajang untuk menunjukkan prestasi instan demi gengsi daerah. Akibatnya, kita gagal menciptakan regenerasi atlet yang mampu bersaing di kancah internasional. 

Bagaimana mungkin kita bisa berharap melahirkan atlet berkualitas jika panggungnya lebih diisi oleh mereka yang sudah matang dan mapan di level dunia?

Gengsi Daerah di Atas Pembinaan Atlet

Tekanan yang dirasakan oleh banyak daerah untuk meraih medali emas, dengan segala cara, telah menjerumuskan PON ke dalam lingkaran ambisi buta. 

Alih-alih menjadi ajang sportivitas, PON telah bertransformasi menjadi arena politik regional, di mana prestasi atletik dikesampingkan demi harga diri daerah. 

Praktik pembajakan atlet dari daerah lain menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Di mata sebagian besar kontingen, yang penting adalah memenangkan medali, bukan bagaimana atlet tersebut dilatih atau berasal dari mana.

Ini tentu saja sangat merugikan para atlet muda yang seharusnya mendapatkan kesempatan untuk bersinar. Mereka terjebak dalam sistem yang lebih mementingkan hasil jangka pendek daripada investasi jangka panjang dalam pengembangan talenta. 

PON, yang dulu dirancang sebagai ajang pembinaan, telah terjebak dalam siklus ambisi dan kecurangan.

Masihkah PON Diperlukan?

Jika kita jujur, penyelenggaraan PON dewasa ini tampaknya jauh dari tujuannya semula. Dengan anggaran sebesar Rp1,3 triliun untuk PON Aceh-Sumut, pertanyaan yang muncul adalah: apakah uang sebanyak itu sebanding dengan hasilnya? 

Venue-venue mewah yang dibangun hanya untuk acara ini seringkali dibiarkan mangkrak setelah perhelatan berakhir. Kasus seperti yang terjadi di Papua dan Kalimantan Timur adalah contohnya---tempat-tempat yang menjadi candi modern, sunyi dan terbengkalai.

Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang hiperrealitas, menggambarkan bagaimana realitas dapat dikaburkan oleh citra yang dibentuk media. 

PON telah menjadi semacam hiperrealitas, di mana kesuksesan acara dinilai dari jumlah medali dan kemeriahan seremoni, sementara realitas sesungguhnya---kemerosotan sportivitas dan kegagalan pembinaan atlet---dilupakan.

Harapan untuk PON dan Olahraga Nasional

Tidak ada yang salah dengan semangat PON sebagai ajang pemersatu bangsa, namun kita perlu bertanya apakah masih relevan dengan kondisi saat ini. 

Jika tujuan PON adalah untuk menciptakan bibit atlet potensial, maka reformasi besar-besaran dibutuhkan. Kejuaraan daerah dan nasional yang teratur, yang fokus pada kelompok umur, mungkin lebih efektif dalam mempersiapkan atlet muda kita. 

PON, dalam bentuknya saat ini, tidak lagi memenuhi tujuan tersebut.

Sebaliknya, kita perlu menciptakan sistem olahraga yang berkelanjutan, di mana pembinaan dan sportivitas kembali menjadi fokus utama. 

Hanya dengan demikian kita bisa berharap untuk melihat atlet Indonesia bersaing secara adil di kancah internasional, dan PON bisa kembali menjadi simbol kebanggaan nasional---bukan hanya sebuah rutinitas yang kian kehilangan maknanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun