Eko Yuli Irawan, peraih medali Olimpiade, masih turun di PON 2024 mewakili Jawa Timur. Begitu pula dengan Rizky Juniansyah, peraih medali emas Olimpiade Paris 2024.Â
Apakah ini benar-benar mencerminkan semangat pembinaan atlet muda? Atau justru menghalangi kesempatan bagi para talenta baru untuk bersinar?
Dalam sistem olahraga di negara-negara maju, fokusnya adalah pembinaan jangka panjang dengan menyediakan panggung bagi para atlet muda untuk berkembang.Â
Sebaliknya, di Indonesia, PON lebih sering menjadi ajang untuk menunjukkan prestasi instan demi gengsi daerah. Akibatnya, kita gagal menciptakan regenerasi atlet yang mampu bersaing di kancah internasional.Â
Bagaimana mungkin kita bisa berharap melahirkan atlet berkualitas jika panggungnya lebih diisi oleh mereka yang sudah matang dan mapan di level dunia?
Gengsi Daerah di Atas Pembinaan Atlet
Tekanan yang dirasakan oleh banyak daerah untuk meraih medali emas, dengan segala cara, telah menjerumuskan PON ke dalam lingkaran ambisi buta.Â
Alih-alih menjadi ajang sportivitas, PON telah bertransformasi menjadi arena politik regional, di mana prestasi atletik dikesampingkan demi harga diri daerah.Â
Praktik pembajakan atlet dari daerah lain menjadi fenomena yang mengkhawatirkan. Di mata sebagian besar kontingen, yang penting adalah memenangkan medali, bukan bagaimana atlet tersebut dilatih atau berasal dari mana.
Ini tentu saja sangat merugikan para atlet muda yang seharusnya mendapatkan kesempatan untuk bersinar. Mereka terjebak dalam sistem yang lebih mementingkan hasil jangka pendek daripada investasi jangka panjang dalam pengembangan talenta.Â
PON, yang dulu dirancang sebagai ajang pembinaan, telah terjebak dalam siklus ambisi dan kecurangan.
Masihkah PON Diperlukan?
Jika kita jujur, penyelenggaraan PON dewasa ini tampaknya jauh dari tujuannya semula. Dengan anggaran sebesar Rp1,3 triliun untuk PON Aceh-Sumut, pertanyaan yang muncul adalah: apakah uang sebanyak itu sebanding dengan hasilnya?Â