Pernahkah Anda memiliki teman yang sepertinya selalu gagal memahami perasaan orang lain?Â
Dalam dunia di mana individualisme merajai, pertanyaan ini menjadi semakin relevan. Seiring kita semakin terhubung melalui teknologi, ironisnya, kita juga menjadi semakin terputus dalam hal empati.
Dalam artikelnya, Rick Weissbourd berpendapat bahwa selama ini kita lebih mementingkan kepentingan individu dibandingkan kepentingan kelompok atau masyarakat secara keseluruhan.
Dan tampaknya, itu memang benar. Di tengah era di mana kita diminta untuk memikirkan "me" terlebih dahulu, bagaimana nasib "we"? Dalam era individualisme yang semakin menonjol, kita seringkali lupa akan pentingnya kebersamaan.Â
Dampak dari prioritas individu ini tidak hanya terasa dalam kebijakan publik, tetapi juga dalam interaksi kita sehari-hari dengan orang lain.
Teman yang "Tone Deaf"
Mungkin Anda pernah mengalami situasi di mana seorang teman atau kolega tampak "tone deaf," sebuah istilah yang mengacu pada kurangnya kepekaan terhadap perasaan orang lain.Â
Ini tidak selalu berarti mereka jahat atau tidak peduli; lebih sering, mereka mungkin tidak menyadari betapa pentingnya menyesuaikan nada dan tindakan mereka terhadap situasi emosional di sekitar mereka.
Pengalaman pribadi saya dengan individu seperti ini sering kali 'bikin capek'. Di satu sisi, saya memahami bahwa tidak semua orang dianugerahi empati yang sama. Namun, di sisi lain, saat emosi atau kepekaan saya diabaikan, rasanya seperti berbicara dengan dinding.Â
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang tidak peka secara emosional, atau yang kurang empati, mungkin tidak sepenuhnya sadar akan dampak kata-kata atau tindakan mereka terhadap orang lain.Â
Pada titik ini, mungkin ada pilihan: menghadapi mereka dengan kejujuran, atau menarik diri untuk melindungi diri sendiri.
Empati: Mengapa Begitu Sulit?
Menurut riset psikologis, empati memiliki dua komponen: empati emosional dan empati kognitif. Empati emosional memungkinkan kita merasakan apa yang dirasakan orang lain, sementara empati kognitif memungkinkan kita memahami perspektif mereka.Â
Tetapi, mengapa sebagian orang tampaknya begitu kekurangan kedua aspek ini?
Salah satu alasannya bisa terletak pada budaya yang semakin mendewakan individualisme. Dalam masyarakat di mana pencapaian diri diprioritaskan, pelajaran tentang menempatkan diri di posisi orang lain sering kali tersingkir.Â
Kita mungkin lebih fokus pada tujuan pribadi, lalu melupakan dampak emosional dari tindakan kita pada orang di sekitar. Hal ini menciptakan celah yang sulit dijembatani dalam hubungan interpersonal.
Namun, kekurangan empati bukanlah karakter yang tak bisa diubah. Menurut ahli, ada beberapa cara untuk meningkatkan kepekaan emosional, salah satunya adalah dengan berlatih mendengarkan lebih baik dan menempatkan diri pada posisi orang lain.
Mengatasi Teman yang Kurang Empati
Menghadapi orang yang tidak peka memang bisa menjadi tantangan. Salah satu cara efektif adalah menjaga ekspektasi yang realistis.Â
Anda tidak bisa mengubah orang lain secara langsung, tetapi Anda bisa mengelola cara Anda bereaksi terhadap mereka. Komunikasi yang jujur dan langsung, meskipun sering kali tidak nyaman, bisa membantu.Â
Misalnya, jika seorang teman terus-menerus mengabaikan perasaan Anda, mungkin ini saat yang tepat untuk memberi tahu mereka dampak dari tindakan mereka.
Studi mengungkapkan bahwa menggunakan pernyataan "aku" (misalnya, "Saya merasa diabaikan") cenderung lebih efektif dalam menyampaikan perasaan seseorang tanpa membuat lawan bicara merasa diserang. Hal ini dapat membuka peluang untuk dialog yang lebih konstruktif.Â
Dunia di Era "Me"
Generasi kontemporer sering kali dikategorikan sebagai "Generasi Me", yang ditandai dengan penekanan yang kuat pada individualisme.Â
Meskipun fokus pada pengembangan diri memiliki manfaatnya, namun perlu diingat bahwa keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kolektif sangat krusial.
Pandemi COVID-19 telah menyoroti dilema antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial. Konflik antara keinginan untuk menjaga kesehatan pribadi dan kebutuhan untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan telah menjadi tantangan utama.Â
Hal ini menggarisbawahi pentingnya menemukan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan kepentingan bersama dalam konteks masyarakat modern.
Refleksi: Apakah Empati Masih Relevan?
Dalam era individualisme yang semakin menonjol, konsep empati seringkali terlupakan. Padahal, kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain adalah kunci untuk membangun relasi sosial yang sehat dan bermakna.Â
Di tengah derasnya arus informasi digital, empati menjadi kompas yang memandu kita untuk tidak tersesat dalam kesepian dan terisolasi.
Pada akhirnya, pertanyaan "Me" atau "We" adalah tentang keseimbangan. Keseimbangan antara menjaga kepentingan pribadi dan memperhatikan orang lain.Â
Dan mungkin, dalam dunia di mana kita sering kali terjebak dalam lingkaran individualisme, kita perlu mengambil langkah mundur dan bertanya: seberapa sering kita benar-benar mendengarkan orang lain?
Menjadi peka terhadap emosi dan perasaan orang lain bukanlah tanda kelemahan. Di era di mana empati semakin langka, mari kita jadikan itu sebagai nilai yang kita pelihara bersama, untuk generasi berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H