Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menelusuri Akar Nepotisme di Balik Tradisi

12 September 2024   16:56 Diperbarui: 12 September 2024   17:16 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Korupsi tidak dimulai dari pencurian besar-besaran, tetapi dari kebiasaan kecil yang dianggap lumrah."

Pernah suatu ketika, saya menghadiri pernikahan anak laki-laki pertama seorang guru yang sangat saya hormati. 

Beliau adalah tokoh yang terpandang di daerah kami, tempat orang-orang mengadu saat menghadapi masalah. 

Dalam setiap ucapannya, ada hikmah yang ditunggu-tunggu banyak orang. 

Pernikahan itu berlangsung seperti kebanyakan acara pernikahan di daerah kami---seremonial dengan sajian prasmanan, salam salaman, dan tentu saja... amplop. 

Namun, ada sesuatu yang berbeda hari itu.

Saat saya hendak memberikan amplop, guru saya berbisik pelan, 

"Ambil kembali amplopmu dan masukkan ke dalam kantongmu jika kamu masih ingin aku anggap sebagai keluarga."

Kalimat itu begitu mengejutkan, hingga dalam beberapa detik, saya tertegun. 

Dalam perjalanan pulang, pikiran saya bergulat dengan makna di balik kata-kata beliau. 

Apa sebenarnya maksud yang hendak beliau sampaikan? 

Seiring dengan renungan itu, muncul sebuah kesadaran pahit: amplop telah menjadi simbol yang lebih dalam dari sekadar 'tradisi'.

Amplop bukan hanya tanda kehadiran, tetapi telah menjelma sebagai alat timbal balik yang merugikan. 

Ingin balas budi, kita tak sadar bahwa praktik ini telah meresapi masyarakat kita dalam cara yang paling subtil. 

Orang-orang yang tidak membawa amplop mulai dipandang dengan mata yang berbeda, bukan karena niat jahat, tetapi karena "sistem amplop" ini sudah mengakar dalam kebiasaan kita.

Di sinilah masalah bermula. 

Kebiasaan ini, yang awalnya sederhana, lama-kelamaan berkembang menjadi pembeda antara yang punya dan yang tak punya.

Antara mereka yang membawa amplop, hadiah, atau "buah tangan", dengan mereka yang datang dengan tangan kosong. 

Akibatnya? 

Mereka yang lebih sering memberi, baik dalam bentuk hadiah atau uang, diperlakukan lebih baik---diurus lebih cepat, dibantu lebih dulu. 

Sementara yang tidak memberi, tertinggal di belakang. 

Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar: gratifikasi. 

Kita sering mendengar ungkapan, "Ah, ini sudah biasa, semua orang melakukannya." 

Dan memang, begitu banyak yang merasa bahwa ini adalah hal yang wajar. 

Tapi, di balik sikap permisif ini, ada sebuah sistem yang lebih buruk dari yang tampak di permukaan. 

Sistem yang, jika tidak segera kita sadari dan hentikan, akan melahirkan generasi yang meyakini bahwa keadilan hanya milik mereka yang punya "hadiah".

Nepotisme, gratifikasi, dan korupsi adalah tiga serangkai yang memperparah keadaan ini. 

Mungkin bagi sebagian orang, amplop hanyalah sebuah isyarat kecil, sebuah formalitas. 

Namun, dalam skala yang lebih luas, ini adalah cikal bakal dari penyakit sosial yang kita sebut korupsi. 

Bagaimana kita bisa bermimpi tentang Indonesia yang bebas korupsi jika kita masih membenarkan tindakan-tindakan kecil ini?

Sungguh ironis, bahwa di negara yang bermimpi tentang keadilan dan demokrasi, kita justru membiarkan kebiasaan ini tumbuh subur di depan mata kita. 

Bahkan, ada yang dengan mudahnya berkata, "Itu hanya hadiah, bukan korupsi." 

Padahal, gratifikasi adalah bibit dari kejahatan yang lebih besar. 

Kita semua ingin perubahan. 

Kita ingin masyarakat yang adil, di mana tidak ada yang diperlakukan istimewa hanya karena membawa amplop. 

Kita ingin anak-anak kita tumbuh dalam lingkungan yang menjunjung tinggi integritas, bukan mengajarkan mereka bahwa memberi hadiah adalah jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu. 

Karena itu, kita harus mulai menolak praktik ini---mulai dari hal-hal kecil, seperti menolak menerima hadiah dalam bentuk amplop, atau buah tangan dari seseorang yang seharusnya tidak berkepentingan. 

Kita tidak bisa membiarkan siklus ini terus berlanjut. 

Nepotisme, korupsi, dan gratifikasi adalah musuh utama dari masyarakat yang kita impikan. 

Jika kita tidak mengambil sikap sekarang, generasi berikutnya akan tumbuh dengan nilai-nilai yang terdistorsi---nilai-nilai di mana uang lebih penting daripada keadilan, di mana hubungan lebih bernilai daripada meritokrasi. 

Sebagai masyarakat yang peduli, kita harus bersuara dan menuntut perubahan. 

Ini bukan hanya tentang amplop di acara pernikahan, ini tentang mentalitas yang telah menancap begitu dalam di benak kita. 

Dan sampai kita benar-benar mengubah cara berpikir kita, mimpi tentang Indonesia yang adil dan bebas korupsi akan tetap menjadi sekadar mimpi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun