Kurikulum Merdeka memberikan tanggung jawab yang besar kepada guru untuk menentukan materi esensial yang harus diajarkan, tetapi kebijakan ini tidak memperhitungkan kapasitas dan kompetensi guru yang beragam di seluruh negeri.
Sebagian besar guru di Indonesia telah terbiasa dengan sistem pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered learning), dan perubahan mendadak ke sistem yang berpusat pada siswa membutuhkan penyesuaian yang signifikan.Â
Tanpa pelatihan yang memadai dan struktur evaluasi yang kuat, kebijakan ini cenderung membebani guru daripada membantu mereka.Â
Hasilnya, banyak guru yang tidak siap atau tidak memiliki kapasitas untuk menerapkan pembelajaran berbasis siswa dengan efektif.
Sebagaimana diakui oleh para peneliti di The Smeru Research Institute, kebijakan ini berpotensi menghambat penyampaian seluruh materi pembelajaran yang ada dalam kurikulum, karena guru tidak memiliki panduan yang jelas tentang bagaimana memilih materi yang benar-benar esensial.
Kegagalan dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia
Kurikulum Merdeka bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menekankan fleksibilitas dan kreativitas dalam pembelajaran.Â
Namun, kebijakan ini justru gagal dalam mencapai tujuan tersebut karena tidak menyediakan struktur evaluasi yang memadai.
Sebagaimana dikemukakan oleh Jusuf Kalla, sistem pendidikan di Indonesia memerlukan evaluasi yang ketat untuk memastikan bahwa siswa terus termotivasi untuk belajar dan guru memiliki panduan yang jelas dalam mengajar.Â
Dengan menghapus ujian nasional dan menggantinya dengan asesmen yang tidak seragam, Kurikulum Merdeka justru mengurangi motivasi siswa untuk belajar secara konsisten.
Selain itu, perbandingan dengan negara-negara seperti Finlandia dan Singapura seringkali tidak tepat dalam konteks pendidikan Indonesia.Â
Sebagaimana disoroti oleh Jusuf Kalla, sistem pendidikan di negara-negara tersebut didukung oleh infrastruktur yang jauh lebih maju dan populasi yang lebih kecil.Â