Akibatnya, penilaian yang seharusnya menjadi alat penting untuk mengukur kemajuan siswa menjadi semakin subyektif, dan standar pendidikan pun menurun.
Penurunan Standar Evaluasi
Kurikulum Merdeka menekankan pengajaran yang fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan siswa.Â
Meskipun gagasan ini terlihat ideal dalam teori, penerapannya seringkali justru melemahkan standar evaluasi.Â
Kebijakan ini tidak lagi menekankan pentingnya pengujian formal dan struktur evaluasi yang ketat, sehingga banyak guru merasa bahwa mereka tidak lagi terikat oleh standar yang jelas dalam mengukur kemampuan siswa.Â
Hal ini sejalan dengan argumen Jusuf Kalla, yang menyoroti bahwa kebijakan ini justru membuat siswa lebih malas belajar karena tidak ada lagi tekanan untuk ujian.
Dalam konteks internasional, pentingnya evaluasi yang ketat dalam menjaga kualitas pendidikan sangat jelas.Â
Negara-negara seperti India dan Cina, yang memiliki populasi besar dan tantangan pendidikan yang serupa dengan Indonesia, tetap mempertahankan ujian nasional yang ketat sebagai alat utama untuk mengukur kemampuan siswa.Â
Di negara-negara tersebut, ujian digunakan tidak hanya sebagai alat pengukuran, tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.Â
Dalam Kurikulum Merdeka, dengan tidak adanya evaluasi yang seragam dan objektif, kualitas pendidikan cenderung menurun karena tidak ada acuan yang jelas untuk mengukur kemampuan siswa secara menyeluruh.
Kurikulum yang Tidak Tepat Sasaran
Salah satu klaim terbesar pendukung Kurikulum Merdeka adalah bahwa kebijakan ini memudahkan guru dalam mengajar "di tingkat yang tepat" untuk siswa.Â
Akan tetapi, tantangan yang dihadapi guru di Indonesia jauh lebih kompleks daripada sekadar menyesuaikan materi dengan kebutuhan siswa.Â