Kurikulum Merdeka, yang diperkenalkan sebagai inovasi untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia, pada awalnya bertujuan untuk memberikan lebih banyak kebebasan kepada guru dan siswa.Â
Namun, kebijakan ini, yang didasarkan pada prinsip "pembelajaran yang berpusat pada siswa", telah menimbulkan banyak perdebatan.Â
Di satu sisi, para pendukungnya mengklaim bahwa kurikulum ini memungkinkan guru lebih fleksibel dalam mengajar sesuai kebutuhan siswa.Â
Namun, di sisi lain, terdapat argumen kuat yang menyoroti bahwa Kurikulum Merdeka justru mengarah pada penurunan standar evaluasi, yang pada akhirnya dapat merusak kualitas pendidikan.Â
Kebijakan tersebut, menunjukkan bagaimana kegagalannya dalam menyediakan struktur evaluasi yang jelas telah menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Kebijakan yang Mengurangi Tanggung Jawab Guru
Salah satu argumen utama yang mendukung Kurikulum Merdeka adalah bahwa kebijakan ini memungkinkan guru untuk lebih mudah menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan siswa.Â
Dalam banyak pernyataan, kurikulum ini disebut-sebut mendorong kreativitas guru dan memberi mereka kebebasan untuk menentukan cara terbaik dalam mengajar.Â
Namun, kebijakan ini justru dapat memberikan ruang bagi sebagian guru untuk menghindari tanggung jawab dalam mengevaluasi kemampuan siswa secara objektif.
Tanpa adanya tekanan untuk melakukan evaluasi secara terstruktur, banyak guru yang merasa terbebas dari kewajiban untuk mengukur kemampuan siswa secara sistematis.Â
Ini terlihat dalam pernyataan-pernyataan yang menekankan bahwa pembelajaran yang berpusat pada siswa dapat dilakukan "sesuai kemampuan siswa" atau "berdasarkan diferensiasi".Â
Padahal, ketika standar evaluasi menjadi longgar, hal ini membuka peluang bagi guru untuk tidak melakukan evaluasi dengan ketat.