Mohon tunggu...
Adia Puja
Adia Puja Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Kriminal

Penikmat teh juga susu. http://daiwisampad.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebenaran yang Bersifat Nisbi

24 Februari 2017   00:11 Diperbarui: 24 Februari 2017   13:15 2845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak layak diperdebatkan. Semuanya benar. Bumi bisa saja bulat atau datar. Semua teorinya sah. Kepercayaan kedua penganut teori itu pun sah. Tidak perlu memaksa orang untuk mengikuti teori yang kita anut. Juga harus menghargai pendapat dan kebenaran menurut orang lain.

Saya mendengarkan setiap pendapat dari kedua teori tersebut. Saya menyukai geografi dan astronomi, dan bahkan saya pelajari teori flat earth sejak bertahun-tahun lalu, bukan baru-baru ini semenjak muncul video dokumenternya. Saya mempunyai keyakinan terhadap bentuk bumi. Dan saya menganggap hal tersebut tidak penting untuk dikemukakan. Terlebih jika nantinya akan menciptakan perdebatan lucu nan imut. Biarlah saya simpan keyakinan ini untuk diri saya sendiri. Kalian tidak perlu tahu.

Serupa tapi tak sama. Anggap saja ini sebagai selingan. Perdebatan mengenai bentuk bumi, saya rasa mirip dengan kondisi saat ini. Kondisi di mana setiap orang memperdebatkan politikus. Pendukung Politikus A merasa paling benar. Pendukung Politikus B merasan paling benar. Alhasil, semua saling serang. Perdebatan yang semula lucu nan imut, sudah tidak menjadi lucu nan imut lagi. Hal tersebut telah meluas hingga masalah agama dan keyakinan. Melebar hingga masalah ideologi.

Dampaknya banyak pertemanan yang putus. Bahkan tidak menutup kemungkinan ada kisah asmara yang juga putus. Toleransi agama menjadi goyah. Padahal semua ini terjadi tidak lebih hanya untuk mendukung politikus kesayangannya. Hih. Itulah mengapa diusung semboyan Pemilu: LUBER JURDIL. Tidak tahu, eh?

Sebenarnya saya malas dan sudah bertekad untuk tidak menulis menyoal politik. Tapi sudahlah, sekali ini saja. Janji.

Padahal, jika kita, eh kalian, mau menurunkan sedikit ego dan menghargai pilihan dan pendapat orang lain, hal tersebut tidak akan terjadi. Kembali lagi, bahwa kebenaran adalah bukan hal yang mutlak. Kebenaran bersifat subjektifitas. Itulah mengapa terlahir orang-orang seperti Gandhi dan Lincoln, yang melihat dan menilai sesuatu dari berbagai sisi.

Di era yang serba-pintar ini, justru banyak orang yang seolah pintar dan memaksakan pendapatnya terhadap orang lain. Temannya yang berseberangan pola pikir, akan dicap komunis, atheis, liberalis, sosialis, zionis, ekstrimis, gitaris, penulis, pengemis, puasa senen-kemis, monyet bau, kadal bintit, muka gepeng, kecoa bunting, babi ngepet, dinosaurus, brontosaurus.

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”

—Pramoedya Ananta Toer

Adia PP

Bandung, Februari 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun