Mohon tunggu...
Adia Puja
Adia Puja Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Kriminal

Penikmat teh juga susu. http://daiwisampad.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebenaran yang Bersifat Nisbi

24 Februari 2017   00:11 Diperbarui: 24 Februari 2017   13:15 2845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: pentasatriya.files.wordpress.com

Beberapa waktu lalu, seorang teman bertanya pada saya, perihal teori bumi datar. Yang ditanya adalah pendapat mengenai kepercayaan saya terhadap bentuk bumi. Pertanyaan serupa sebenarnya sudah sering dilontarkan kepada saya jauh teori bumi datar marak diperbincangkan belakangan. Satu yang mengherankan, mengapa banyak sekali orang yang menanyakan hal tersebut pada saya. Apa saya mempunyai tampang seperti astronot? Atau astronom? Atau E.T., barangkali?

Kembali ke masalah bumi datar atau lebih gaya kalau disebut flat earth. Setiap ditanya hal demikian, saya selalu menjawab “nggak tahu”. Alasannya, ya karena memang saya tidak tahu bentuk bumi seperti apa. Bulat seperti tahu yang digoreng dadakan atau datar seperti sms balasan dari gebetan. Bahkan bisa jadi trapesium atau segitiga sama sisi.

Saya selalu bilang pada sang penanya, saya belum mau berpendapat bentuk bumi persisnya jika saya belum melihatnya secara langsung dari luar angkasa dengan mata sendiri. Kalau suatu hari saya ada kesempatan untuk tur antariksa bersama Superman sahabat saya, dan beruntung bisa menyaksikan bentuk bumi seperti apa, baru saya percayai itu.

Tapi, kata mereka, di dalam beberapa kitab suci, ada kata-kata yang menyiratkan bahwa bumi itu berbentuk datar. Bahkan, masih kata mereka, sebenarnya bukti-bukti ilmiah mengenai bumi datar itu sudah berserakan di depan mata kita, tetapi ada pihak yang menghalangi umat manusia untuk mengetahui kebenaran bahwa bentuk bumi itu datar. Itu kata mereka. Dan mereka pun sebelumnya tidak ngeh dengan teori ini sampai videonya mencuat di Youtube.

Lagi-lagi, saya mengatakan “tidak tahu”. Saya memang bebal. Dan juga kurang peka. Maafkan.

Dengan pendapat saya yang bebal tersebut, tidak sedikit yang akhirnya menilai saya tidak punya pendirian. Bahkan, saya dianggap atheis, karena tidak meyakini hal yang diyakini oleh agama tertentu; yang katanya mengatakan bahwa bumi adalah datar. Setelah dicap begitu, saya menjadi takut masuk neraka karena tidak tahu bentuk bumi. Ampunilah hamba, Tuhan..

Saya pribadi berpendapat bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tidak mutlak, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif), dan subjektif. Saya berikan analogi berikut. Penganut Agama A, pastilah menganggap Agama A yang paling benar, dan para penganut di luar Agama A adalah salah. Di sisi lain, penganut Agama B, pastilah menganggap Agama B yang paling benar, dan agama A adalah salah. Dan begitu seterusnya.

Lalu di mana letak kebenaran jika setiap orang merasa kepercayaan dan pendapatnya benar? Jawabnya ada di ujung langit, kita ke sana dengan seorang anak. Anak yang tangkas dan juga pemberani. Ngomong-ngomong, dua kalimat terakhir di atas adalah penggalan lirik lagu Dragon Ball. Ada yang tahu?

Kebenaran terletak di keyakinan setiap orang. Setiap orang mempunyai keyakinan akan kebenaran yang dianggapnya benar. Setiap orang mempunyai hak untuk mempercayai atau tidak terhadap suatu hal. Menurut Plato, kebenaran adalah ketidaktersembunyian, adanya itu tidak dapat dicapai manusia selama hidupnya di dunia ini. Sedangkan menurut muridnya, Aristoteles lebih memusatkan perhatian pada kualitas pernyataan yang dibuat oleh subjek penahu ketika dirinya menegaskan suatu putusan entah secara afirmatif atau negatif. Bingung? Saya juga! HAHA.

Kembali ke soal bentuk bumi. Menurut ilmu yang berkembang semenjak saya ingat, bentuk bumi adalah bulat. Orang-orang mempercayai itu dengan berbagai teorinya. Kemudian belakangan, kembali mencuat soal pendapat bahwa bumi berbentuk datar. Yang pada sebenarnya teori bumi datar bukanlah hal baru. Kepercayaan terhadap bumi datar sudah dimulai sejak tahun 1816 yang dikemukakan oleh penemu asal Inggris, Samuel Rowbotham. Barulah pada tahun 1956, Samuel Shenton mendirikan sebuah organisasi bertajuk Flat Earth Society.

Menurut saya pribadi. Menurut saya lho. Kedua teori tersebut bisa jadi benar. Bisa jadi juga salah. Tapi para penganutnya, tidak boleh dipersalahkan. Ya bebas saja mau menganut teori yang mana. Perdebatan-perdebatan lucu nan imut kerap muncul jika kedua teori ini dipertemukan. Kedua pihak ngotot dengan teori dan pendapatnya. Bahkan tidak jarang perdebatan berakhir di ring tinju. Ini lucu. Hal tersebut serupa dengan perdebatan menyoal mengapa Spongebob bisa menyalakan api di Bikini Bottom?

Tidak layak diperdebatkan. Semuanya benar. Bumi bisa saja bulat atau datar. Semua teorinya sah. Kepercayaan kedua penganut teori itu pun sah. Tidak perlu memaksa orang untuk mengikuti teori yang kita anut. Juga harus menghargai pendapat dan kebenaran menurut orang lain.

Saya mendengarkan setiap pendapat dari kedua teori tersebut. Saya menyukai geografi dan astronomi, dan bahkan saya pelajari teori flat earth sejak bertahun-tahun lalu, bukan baru-baru ini semenjak muncul video dokumenternya. Saya mempunyai keyakinan terhadap bentuk bumi. Dan saya menganggap hal tersebut tidak penting untuk dikemukakan. Terlebih jika nantinya akan menciptakan perdebatan lucu nan imut. Biarlah saya simpan keyakinan ini untuk diri saya sendiri. Kalian tidak perlu tahu.

Serupa tapi tak sama. Anggap saja ini sebagai selingan. Perdebatan mengenai bentuk bumi, saya rasa mirip dengan kondisi saat ini. Kondisi di mana setiap orang memperdebatkan politikus. Pendukung Politikus A merasa paling benar. Pendukung Politikus B merasan paling benar. Alhasil, semua saling serang. Perdebatan yang semula lucu nan imut, sudah tidak menjadi lucu nan imut lagi. Hal tersebut telah meluas hingga masalah agama dan keyakinan. Melebar hingga masalah ideologi.

Dampaknya banyak pertemanan yang putus. Bahkan tidak menutup kemungkinan ada kisah asmara yang juga putus. Toleransi agama menjadi goyah. Padahal semua ini terjadi tidak lebih hanya untuk mendukung politikus kesayangannya. Hih. Itulah mengapa diusung semboyan Pemilu: LUBER JURDIL. Tidak tahu, eh?

Sebenarnya saya malas dan sudah bertekad untuk tidak menulis menyoal politik. Tapi sudahlah, sekali ini saja. Janji.

Padahal, jika kita, eh kalian, mau menurunkan sedikit ego dan menghargai pilihan dan pendapat orang lain, hal tersebut tidak akan terjadi. Kembali lagi, bahwa kebenaran adalah bukan hal yang mutlak. Kebenaran bersifat subjektifitas. Itulah mengapa terlahir orang-orang seperti Gandhi dan Lincoln, yang melihat dan menilai sesuatu dari berbagai sisi.

Di era yang serba-pintar ini, justru banyak orang yang seolah pintar dan memaksakan pendapatnya terhadap orang lain. Temannya yang berseberangan pola pikir, akan dicap komunis, atheis, liberalis, sosialis, zionis, ekstrimis, gitaris, penulis, pengemis, puasa senen-kemis, monyet bau, kadal bintit, muka gepeng, kecoa bunting, babi ngepet, dinosaurus, brontosaurus.

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”

—Pramoedya Ananta Toer

Adia PP

Bandung, Februari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun