Selasa malam yang lalu Marselino Ferdinan jadi pahlawan. Dua gol ia cetak ke gawang Arab Saudi. Kemenangan perdana Indonesia selama kualifikasi fase III menuju Piala Dunia tahun 2026.
Dua gol ini melengkapi satu golnya ke gawang Irak dalam laga pembuka Piala Asia yang baru lalu. Golnya keren. Umpan Sayuri di sisi kanan dimanfaatkan Marselino dengan baik.
Yang menarik tentu saja lantaran anak muda 20 tahun ini belum sering dapat tempat di klubnya Oxford yang berlaga di kasta kedua Liga Inggris atau dikenal dengan Championship.
Di klub sebelumnya, KMSK Deinze di kasta kedua liga Belgia, Marselino juga jarang mendapat tempat utama. Sesungguhnya wajar karena ia masih muda sekali. Saya saja usia dua puluh tahun belum jadi apa-apa, Marselino sudah jadi pemain timnas dan sukses.
Lihat Marselinio ini tiba-tiba ingatan kembali ke tahun 2004.
Pada Piala Eropa di Portugal, Yunani menjadi juara. Ini adalah salah satu keajaiban dunia dalam ranah sepak bola kalau kata saya. Yunani, negara yang paling tidak perhitungkan, malah jadi juara.
Meskipun banyak yang bilang mainnya bertahan dan hanya mengandalkan set piece, buat saya ya tak masalah. Yang penting juara. Pelatih Yunani kala itu, orang Jerman bernama Otto Rehhagel, punya senjata mematikan.
Striker Yunani itu bernama Angelos Charisteas. Waktu Piala Eropa itu, Harry, sapaan akrab Charisteas, main di Werder Bremen di Bundesliga.
Sayangnya, sama kayak Marselino, jarang dapat tempat skuat utama. Bahkan, Harry hanya pilihan keempat di lini depan Werder Bremen. Harry dimainkan melengkapi penyerang lain: Ailton Goncalves, Ivan Klasnic, dan Nelson Valdez.
Tapi Rehhagel tak masalah. Ia butuh penyerang yang jago bola atas dan kuat dalam fisik.
Walhasil Harry diikutsertakan dalam tim dan mencatat prestasi mengagumkan. Golnya ke gawang Spanyol di fase grup menjadi bukti pertama.
Lalu gol-gol selanjutnya hadir. Termasuk gol pamungkas ke gawang Portugal pada laga final. Cristiano Ronaldo yang waktu masih 17 tahun menangis karena timnya gagal juara di depan publik sendiri.
Charisteas menjadi bintang. Padahal di klub ia hanya pilihan keempat.
Itu juga nanti yang terjadi kala Harry pindah ke Ajax Amsterdam dan klub lain. Lagi-lagi hanya sebagai pilihan kesekian. Padahal di timnas ia jagonya.
Buat saya, sekilas cerita ini mirip Marselino masa sekarang. Tentu kita tak berharap Marselino hanya jago di timnas tapi tak dapat kesempatan di tim utama klubnya.
Tulisan kecil ini sekadar pengingat jika melihat Marselino sekarang yang dipercaya Shin Tae-Yong tapi kurang dapat waktu bermain di Oxford yang notabene milik bos PSSI Erick Thohir.
Tapi andaikata memang seperti Charisteas, apa boleh buat. Ayo Marselino, bawa timnas ini ke Piala Dunia.
Biar kamu lebih cemerlang dalam catatan sejarah. Bahkan melebihi Charisteas. Kami tunggu gaya asyik kamu usai cetak gol. [Adian Saputra]
Foto pinjam dari KOMPAS.com/Adil Nursalam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H