Lalu gol-gol selanjutnya hadir. Termasuk gol pamungkas ke gawang Portugal pada laga final. Cristiano Ronaldo yang waktu masih 17 tahun menangis karena timnya gagal juara di depan publik sendiri.
Charisteas menjadi bintang. Padahal di klub ia hanya pilihan keempat.
Itu juga nanti yang terjadi kala Harry pindah ke Ajax Amsterdam dan klub lain. Lagi-lagi hanya sebagai pilihan kesekian. Padahal di timnas ia jagonya.
Buat saya, sekilas cerita ini mirip Marselino masa sekarang. Tentu kita tak berharap Marselino hanya jago di timnas tapi tak dapat kesempatan di tim utama klubnya.
Tulisan kecil ini sekadar pengingat jika melihat Marselino sekarang yang dipercaya Shin Tae-Yong tapi kurang dapat waktu bermain di Oxford yang notabene milik bos PSSI Erick Thohir.
Tapi andaikata memang seperti Charisteas, apa boleh buat. Ayo Marselino, bawa timnas ini ke Piala Dunia.
Biar kamu lebih cemerlang dalam catatan sejarah. Bahkan melebihi Charisteas. Kami tunggu gaya asyik kamu usai cetak gol. [Adian Saputra]
Foto pinjam dari KOMPAS.com/Adil Nursalam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H