Dia bisa disebut pakar tanaman padi. Di tangan Surono Danu banyak bibit padi yang dihasilkan dan didistribusikan untuk petani seantero Nusantara. Tawaran dari perusahaan besar untuk bibit tanaman padi itu ia tolak mentah-mentah.
Yang menarik soal tema tulisan saya ini, Surono menyikapi betapa anak zaman sekarang jika makan di kafe, selalu menyisakan makanan. Ia punya ilustrasi menarik.
Jika satu orang menyisakan satu butir nasi di piring, dan saat diakumulasikan, hasilnya fantastis. Dalam pengamsalan Surono Danu, 1 gram beras itu kurang lebih 50 butir. Satu kilogram sama dengan 50 ribu butir beras.
Jika manusia Indonesia menyisakan saja satu butir saja sekali dalam sehari, maka sama dengan 4 ton terbuang sehari. Jika satu bulan maka menjadi 240 ton.
Bayangkan jika dalam hari Ahad ada ribuan hajatan dan masing-masing tamu menyisakan lebih dari sebutir nasi, mungkin hitungan dalam sehari itu sama dengan satu bulan. Kalau itu yang terjadi, 240 ton beras tersia-sia dalam sehari, sungguh kemubaziran.
Sementara itu, kita semua tahu, masih banyak masyarakat kita yang sulit mengakses beras dan lauk pauk ini. Apalag jika dikaitkan dengan konsumsi daging, telur, dan lauk lainnya.
Dalam konteks khusus acara hajatan atau kondangan ini, penulis menilai penting untuk memberikan edukasi yang tegas. Misalnya saja di acara itu, pembawa acara memberikan narasi agar tamu mengambil hidangan dan dihabiskan. Sebab, menghabiskan nasi yang diambil serta lauk pauknya adalah bentuk penghormatan terhadap tuan rumah.
Bisa juga edukasi itu diberikan kala sambutan atau doa. Umumnya acara di Indonesia, ada sesi doa. Silakan disampaikan kepada tuan rumah pesan itu agar si pendoa memberikan narasi soal menghindari kemubaziran.
Tidak menghabiskan makanan saat kondangan, saya nilai jangan dijadikan budaya. Seolah-olah memang sudah tren kalau kondangan mesti ada sisanya di piring. Itu pandangan yang keliru.
Yang harus diedukasi kepada semua tamu adalah wajib menghabiskan makanan yang diambil.