Isi tas memang penting. Kalau tak ada uang ya bagaimana mau maju jadi caleg. Memang bukan untuk nawaitu beli suara dengan politik uang. Namun, isi tas penting untuk biaya operasional.
Mau bikin kaus, mug, kartu nama, baliho, dan alat peraga lain butuh duit. Mengumpulkan orang mesti punya duit untuk beli minum, kudapan, dan makan berat.
Jadi caleg juga mesti siap isi tas lumayan untuk operasional kesana kemari. Belum lagi undangan hajatan bakal banyak menghampiri. Semua mesti didatangi, apalagi yang jelas-jelas ada di daerah pemilihan (dapil).
Di Bandar Lampung ada anggota dewan terang-terangan ngomong habis Rp1 miliar untuk jadi. Entah yang lain.Â
Tapi kawan saya yang tiga periode jadi anggota dewan tingkat kota, tak menghabiskan sebanyak itu. Paling banter seratusan juta rupiah. Itu pun banyak tertolong dari posisi dia yang petahana alias incumbent.
Ada juga caleg yang tegak lurus dalam melihat sesuatu. Ia sama sekali tidak mau main uang. Dalam arti, memberi sekadar transpor saja tidak mau. Cukup menyediakan minum dan kudapan serta cenderamata semacam kaus atau mug.
Di masyarakat, memang rumit kalau mau undang hadir acara perkenalan caleg kalau tak pulang tangan kosong. Warga sih enggak begitu juga ngarep dapat yang transpor.Â
Namun, sebagai tuan rumah yang baik, alangkah baik jika pelayanan kepada tetamu yang notabene calon pemilih diperhatikan dengan saksama. Terutama dalam hal makan, minum, cenderamata, dan ganti transpor.
Pernah ada warga ngedumel usai datang perkenalan seorang caleg. Musababnya, di lokasi ia mendengar banyak cakap, tapi minim pelayanan.Â
Paling banter dikasih minum sama kue. Makan siang tak dapat, apatah lagi duit pengganti transpor ke lokasi.
Kadang ada caleg yang sudah ditandai oleh warga sekitar sebagai orang yang pelit. Masyarakat malas datang untuk dengar janji-janji tak jelasnya. Kecuali dari awal diundang sudah dapat sangu untuk hadir.