Bank Indonesia menginisiasi agar sistem pembayaran seantero ASEAN bisa terintegrasi. Inisasi ini cerdas karena akan memudahkan seluruh transaksi di negara-negara kawasan Asia Tenggara ini.
Saya membayangkan ada turis Thailand mampir ke sebuah kedai makan di pojok kota saya kemudian makan dengan lahap hidangan. Usai itu, ia mengeluarkan ponsel dan mendekatkan gawai itu ke mesin bertanda kode sistem pembayaran.Â
Dengan sekejap, duit sudah berpindah ke rekening si empunya usaha. Sebuah sistem pembayaran yang modern dan simpel.
Tentu integrasi pembayaran ini bukan sekadar program yang menunjukkan kita siap dengan dunia yang makin global. Bahwa ini adalah sebuah kemestian dan tuntutan zaman, itu sudah kita ketahui bersama.Â
Bahwa kemudian ini juga menjadi peluang bagi usaha di Tanah Air untuk makin simpel mendapatkan uang, juga sebuah langkah yang baik. Akan tetapi, penulis hendak mengemukakan argumen bahwa integrasi ini sebetulnya mesti menjadi peluang usaha berbasis apa saja, dari mikro sampai besar, untuk menarik konsumen mancanegara.
Musababnya, momentum ini mesti dimanfaatkan dengan baik. Tujuannya, bukan sekadar pembayaran itu makin mudah dan terintegrasi, melainkan apakah Indonesia ada kans memanfaatkan ini dengan baik.
Penulis mengutip informasi dari jakartadaily.id bahwa Consumer Payment Attitudes Study 2022 Visa menemukan dampak dari pandemi juga mengubah berbagai kebiasaan masyarakat, termasuk kebiasaan untuk tidak membawa banyak uang tunai dan menggunakan pembayaran digital. Hal ini mempercepat kesiapan Indonesia menuju cashless society.
Berdasarkan studi Consumer Payment Attitude Visa 2022, pembayaran melalui dompet digital telah mengambil alih pembayaran tunai di Indonesia dengan tingkat penggunaan hingga 93 persen.Â
Menariknya, dari sisi usia pengguna, boomers menempati peringkat kedua (95 persen) setelah Gen Y atau milenial (96 persen). Gen Z justru menempati posisi ketiga (89 persen).
Maknanya adalah jangan sampai skema pembayaran ASEAN ini tidak disikapi Indonesia dengan baik. Keinginan untuk transaksi yang terkoneksi ini membutuhkan beberapa catatan penting. Tujuannya, kita memanfaatkan skema ini, bukan sekadar jadi tamu saja. Berikut catatan penulis.
Pertama, kesiapan infrastruktur
Langkah pertama usai secara ekonomi kita siap dengan skema itu adalah kesiapan infrastruktur. Mengharapkan semua pembayaran dengan ponsel itu sama saja artinya dengan berharap koneksi internet nyaris merata di semua wilayah Tanah Air. Justru beberapa produk dan jasa eksotis Indonesia berada di lingkup yang agaknya masih terkenala sinyal ponsel sekaligus internet.
Bagaimana mungkin kita hendak memanfaatkan peluang pembayaran terkoneksi ini jika koneksi jejaring internet malah menjadi masalah. Ide integrasi pembayaran ini seharusnya menjadi agenda semua perangkat di pemerintahan.Â
Wabilkhusus pemerintah yang menangani soal provider. Sektor swasta dan BUMN yang berkelindan dengan ketersediaan koneksi internet juga mesti diberi tahu. Ini berguna supaya Bank Indonesia tidak sendirian bekerja untuk menyukseskan ini.
Ponsel memang bisa diperoleh di mana saja. Tetapi agar ia bekerja dengan baik, sinyalnya mesti mantap. Bagaimana hendak lancar bertranksasi jika koneksi saja masih payah.Â
Penulis kira ini bagian mahapenting untuk disampaikan kepada entitas pemerintah. Tujuannya, agar skema konektivitas sistem pembayaran negara-negara di ASEAN bisa lancar.
Kedua, edukasi kepada pelaku usaha
Taruhlah untuk mereka yang punya usaha skala besar. Soal penyediaan QRIS di tempat usahanya bukan sesuatu yang asing. Namun, pelaku usaha di Tanah Air bukan hanya yang berkapital besar.Â
Ada banyak pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang juga berusaha mencari ceruk di situ. Oleh karena itu, adanya program konektivitas ini mesti menjadi pengetahuan semua pengusaha di Indonesia. Wabilkhusus mereka yang terkait erat dengan wisatawan mancanegara.
Edukasi ini penting banget karena kesiapan mereka untuk memasang alat QRIS ini juga utama. Sebab, tanpa kesiapan dan pengetahuan memadai, mereka masih menjadi asing menggunakan teknologi ini.
Ini juga penting disampaikan kepada mereka yang berada pada satu lingkup usaha di sebuah destinasi.
Ketiga, tantangan menyajikan produk dan jasa yang unik
Wisata di belahan dunia manapun dan awet sampai dengan sekarang pasti memiliki keunggukan komparatif. Keunggulan itulah yang kemudian selalu dipelihara dan menjadi keunikan. Dari situlah banyak orang tertarik untuk datang. Baik itu untuk memperoleh jasa atau produk barang dari destinasi yang didatangi.
Indonesia juga semestinya demikian. Dengan adanya konektivitas ini, sesungguhnya menjadi tantangan bagi kita untuk menghasilkan produk dan jasa yang unik.Â
Unik itu kemudian melekat menjadi jenama dan dikenal sampai ke mancanegara. Karena itulah nanti orang akan terus datang karena memang hanya di sanalah ia bisa temukan keistimewaan dan keunikan itu.
Dalam konteks inilah, pelaku usaha kita mesti lebih inovatif dalam menawarkan produk dan jasanya. Konektivitas ini hanya akan dimanfaatkan negara lain dan pelaku usahanya jika kita tak bersiap sedari sekarang. Adanya konektivitas ini mestinya makin memacu kita menghasilkan keunggulan yang terus dinovasi dan menjadi citra jenama yang kuat.
Jangan berharap untuk mudah bagi wisatawan mentransfer duitnya melalui skema QRIS itu kalau secara produk kita tak punya keunggulan.
Pembayaran yang terkoneksi itu adalah alat yang memudahkan. Pemicu adanya transaksi adalah produk barang dan jasa.Â
Kesiapan kita terhadap produk dan jasa itu akan selaras dengan kesiapan kita dalam menyongsong model pembayaran terkoneksi. Akan tetapi, jika produk dan jasanya tidak ada yang menjual, siapa yang hendak membayar dengan skema demikian?
Maka itu, buat pelaku usaha, jadikan inisiasi Bank Indonesia ini agar pembayaran seantero ASEAN menjadi peluang tersendiri. Makin giatlah untuk menyongsong para turis. Kesiapan itu pada keunggulan produk dan jasa serta keramahan kita dalam melayani para pelancong.
Keempat, urgensi peran bank sentral
Kita juga terus menanti peran BI untuk memberikan informasi ini ke semua perbankan di Tanah Air. BI mesti bisa memastikan skema konektivitas pembayaran negara se-ASEAN ini bisa dipersiapkan dengan baik oleh semua perbankan. Ujung tombaknya tentu saja perbankan nasional kita.
Jika memasuki musim puncak datangnya wisatawan, perbankan kita juga mesti siap-siap agar infrastruktur mereka siap lahir batin. Kejadian dua bulan lalu di mana nasabah BSI kesulitan dalam bertransaksi jelas tidak boleh terjadi lagi.
Sungguh tidak enak begitu turis hendak membayar, koneksi malah gangguan atau malah jaringan perbankan nasional yang drop.
Simpulan
Konektivitas ini mesti kita sambut dengan baik. Ini langkah brilian Bank Indonesia sebagai leading sector agar dunia usaha Tanah Air terus bergeliat. Akan tetapi, segala macam kesiapan dari kita mesti jadi perhatian penting dan sesegera mungkin dilakoni.Â
Semua pihak mesti siap mewujudkan konektivitas pembayaran ini. Sungguh paripurna jika produk dan jasa kita adiluhung disokong dengan kesiapan infrastruktur dalam pembayaran terkoneksi antarnegara-negara ASEAN. [Adian Saputra]
Gambar pinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H