Besok Lebaran. Kue-kue di semua rumah umat Islam yang merayakan sudah siap menanti.Â
Kebanyakan memang kue yang khas ada pas Hari Raya ini. Misalnya yang paling terkenal nastar, kastengel, dan lainnya.Â
Di deretan kue basah ada nama lapis legit, engkak, masuba, dodol, dan lainnya. Dalam momentum Lebaran inilah, kue atau jajanan tradisional mesti menyingkir sebentar.
Setiap pagi di perumahan tempat kami tinggal ada penjual kue tradisional yang keliling. Kue-kue semacam gemblong, lambang sari, ongol-ongol, arem-arem, dan lainnya dibawa berkeliling kompleks.Â
Jika dibandingkan yang lain, saya amat menyukai cucur. Kue mirip serabi dengan rasa manis gula aren yang khas dan tekstur yang tidak begitu lembek. Saya menyukai cucur berkawan kopi pahit.
Sudah tentu selama musim Lebaran ini, agak sulit mendapati kue ini di rumah-rumah yang kita kunjungi. Mungkin nanti baru ada lagi yang berjualan lepas dua atau tiga hari Lebaran.
Sebetulnya kans kue tradisional dan jajanan pasar lain bersaing kala Lebaran masih ada. Sebabnya, orang mungkin bosan ketemu kue yang sama di banyak rumah.Â
Maka itu, kalau ada rumah yang mampu menyediakan kue dengan jenis yang lain, insya Allah akan berkesan dan banyak peminat.Â
Persoalannya adalah jajanan pasar kayak begini tidak tahan lama. Sementara itu, nastar dkk bisa bertahan berbulan-bulan di rumah. Apalagi di dalam stoples yang isolasinya tidak dilepas, hehehe.
Salah satu kue tradisional yang di beberapa rumah berdasar pengalaman selama ini adalah tapai ketan. Ketan tapai hitam dibungkus daun jati memang segar kala dimakan.Â
Namun, bagi yang punya mag, saya sarankan jangan mencobanya. Maklum, kata pak mantri, gasnya tinggi. Nanti malah menambah beban kerja lambung.
Saya menyukai tapai ketai hitam ini. Bentuknya yang unik dan rasanya khas manis asam-asam segar bisa menjadi pembeda ketimbang kue lebaran pada umumnya.Â
Repotnya makan tapai ketan ini segera mencuci tangan karena lengketnya cairan di makanan itu. Hati-hati juga supaya tidak berceceran air dari makanan itu.
Kue khas Lebaran ini juga tidak didominasi masyarakat perkotaan. Masyarakat di perdesaan juga sama. Setidaknya itu yang saya temui dalam beberapa tahun belakangan.
Meski di desa, ketersediaan kue tradisional kala Lebaran juga tidak begitu semarak. Masih unggul kue-kue semacam nastar dan sejenisnya.Â
Mungkin juga tak ada waktu untuk membuatnya sehingga lebih pilih beli di banyak tempat. Bahkan, sejak seminggu jelang Lebaran, sudah banyak orang yang jualan kue lebaran secara daring.
Saya sih tetap kepingin pas silaturahmi ke rumah teman ada yang menyajikan kue semacam ini. Biar lidah tidak ketemu keju melulu.Â
Sesekali ketemu cucur. Menggigitnya dengan nikmat dan merasakan manis khas kue jenis ini.Â
Dipadu dengan kopi pahit seduh air panas mendidih, insya Allah nikmat sekali. "Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?".
Mungkin ke depan perlu ada inovasi bagi pegiat kue tradisional ini. Tujuannya, minimal ketika Lebaran, mereka masih bisa bersaing dan punya pangsa pasar.Â
Cucur misalnya, punya daya awet lumayan juga. Dengan dibikin ukuran lebih minimalis kemudian disusun dalam stoples manis dan dibungkus dalam hampers cantik, insya Allah jadi kue berkelas juga.Â
Diksi hampers sengaja saya pakai karena sedang tren. Padahal bisa saja diganti dengan sinonim dalam bahasa Indonesia: kranjang alias bingkisan.
Kalau kue tradisional sudah diperlakukan demikian, ia akan bersaing. Biar saja namanya kue atau jajanan pasar.Â
Namun, dari sisi pengemasan akan lebih baik. Jadi, kala Lebaran pun, yang lidahnya kayak saya, tetap punya kans menikmati Hari Raya dengan kue-kue khas bercitarasa Nusantara.Â
Selamat melanjutkan berpuasa hari akhir Ramadan. Selamat menanti Hari Raya. [Adian Saputra]
Foto pinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H