Saya menyukai tapai ketai hitam ini. Bentuknya yang unik dan rasanya khas manis asam-asam segar bisa menjadi pembeda ketimbang kue lebaran pada umumnya.Â
Repotnya makan tapai ketan ini segera mencuci tangan karena lengketnya cairan di makanan itu. Hati-hati juga supaya tidak berceceran air dari makanan itu.
Kue khas Lebaran ini juga tidak didominasi masyarakat perkotaan. Masyarakat di perdesaan juga sama. Setidaknya itu yang saya temui dalam beberapa tahun belakangan.
Meski di desa, ketersediaan kue tradisional kala Lebaran juga tidak begitu semarak. Masih unggul kue-kue semacam nastar dan sejenisnya.Â
Mungkin juga tak ada waktu untuk membuatnya sehingga lebih pilih beli di banyak tempat. Bahkan, sejak seminggu jelang Lebaran, sudah banyak orang yang jualan kue lebaran secara daring.
Saya sih tetap kepingin pas silaturahmi ke rumah teman ada yang menyajikan kue semacam ini. Biar lidah tidak ketemu keju melulu.Â
Sesekali ketemu cucur. Menggigitnya dengan nikmat dan merasakan manis khas kue jenis ini.Â
Dipadu dengan kopi pahit seduh air panas mendidih, insya Allah nikmat sekali. "Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?".
Mungkin ke depan perlu ada inovasi bagi pegiat kue tradisional ini. Tujuannya, minimal ketika Lebaran, mereka masih bisa bersaing dan punya pangsa pasar.Â
Cucur misalnya, punya daya awet lumayan juga. Dengan dibikin ukuran lebih minimalis kemudian disusun dalam stoples manis dan dibungkus dalam hampers cantik, insya Allah jadi kue berkelas juga.Â
Diksi hampers sengaja saya pakai karena sedang tren. Padahal bisa saja diganti dengan sinonim dalam bahasa Indonesia: kranjang alias bingkisan.