Malam Idulfitri berbilang tahun yang lampu. Kemungkinan besar saat saya kelas VI sekolah dasar. Itu artinya di tahun 1991.Â
Agak ingat karena momentumnya usai Piala Dunia di Italia tahun 1990. Kala itu Jerman (Barat) yang juara. Di final, tim asuhan legenda sepak bola Jerman, Frans Beckenbauer itu menang 1-0 atas Argentina lewat penalti Andreas Brehme ke gawang Sergio Goycochea.
Malam Idulfitri yang masih terkesan sampai sekarang itu tokoh utamanya TVRI. Seingat saya belum ada stasiun televisi lain waktu itu.Â
Malam takbiran itu, TVRI memutar sebuah film yang dibikin tahun 1983. Judulnya "Sunan Kalijaga". Yang main sebagai bintang utama adalah Deddy Mizwar. Ada Koesno Soejarwadi, Zainal Abidin, WD Mochtar, HB Yasin, dan bintang beken lain semasa itu.
Saya dan adik-adik khusyuk di depan televisi. Sutradara Sofyan Syarna apik menyusun adegan demi adegan menjadi tontonan yang menghibur dan sarat pesan dakwah. Wabilkhusus kultur Nusantara.
Ada nama Idris Sardi juga pada tata musik. Ini juga legenda musik Indonesia.
Waktu itu, menikmati film bioskop sekualitas itu di televisi nasional TVRI jarang sekali. Kalaupun ada ya pas Idulfitri dengan film-film Warkop. Tentu segmen dan aliran cerita berbeda dengan foklus tulisan sederhana saya ini.
Film Sunan Kalijaga sekelumit saya ringkas. Adalah Raden Mas Said, anak dari tumenggung Tuban yang menjadi daerah kekuasaan Majapahit. Majapahit kala itu, 1400-an tidak lagi sebagaimana Majapahit dengan kekuasaan Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada.Â
Banyak perang yang bikin Majapahit makin terpuruk. Agama Islam mulai masuk dan memberikan dampak signifikan. Beberapa pemuka kadipaten masuk Islam.
Termasuk ayahanda Raden Mas Said ini. Sejak bayi anak ini sudah kelihatan tanda-tanda bakal jadi orang besar. Kecerdasan, akal budi, keberanian, jiwa seni, dan suka berpetualang sudah tampak sejak kecil.Â
Raden Mas Said lebih banyak main keliling kampung-kampung ketimbang di rumahnya yang resik dan banyak fasilitas.
Satu yang penting, jiwanya memberontak kala para bawahan ayahandanya menekankan upeti tinggi kepada rakyat. Dalihnya, kerajaan butuh banyak dana. Namun, Raden Mas Said tidak ingin rakyat menjadi korban.
Suatu waktu ia terpaksa mencuri di gudang makanan untuk diberikan kepada orang miskin. Sang ayah menghukumnya dengan melecut tangan Raden Mas Said dan menyuruhnya tidur di gudang.
Persentuhannya dengan Sunang Bonang yang kemudian membawa Raden Mas Zaid sebagai mubalig di tanah Jawa. Kecintaannya kepada kesenian Jawa menjadi ciri khasnya.
Yang saya tahu, kata senior kami dulu di Rohani Islam, lagu "Lir Ilir" itu gubahan Sunan Kalijaga. Bahkan ada lagu Joko Tingkir gubahan Habib Bidin yang dalam salah satu baitnya menjelaskan Joko Tingkir murid Sunan Kalijaga yang juga wali sekaligus raja.
Saya yakin, di antara teman-teman generasi Y dan milenial, mungkin juga generasi Z, jika ditanya siapa saja Wali Songo di tanah Jawa, hakulyakin yang teringat di benak adalah Sunan Kalijaga. Padahal masih ada yang lainnya.Â
Hanya saja memang, keterkenalan Sunan Kalijaga ini agaknya melebihi yang lain. Mungkin karena ia punya kekhasan berdakwah dengan menggunakan kesenian Jawa seperti wayang dan gamelan.
Film ini tentu bagi saya salah satu karya adiluhung dalam genre religi. Dengan durasi tiga setengah jam, film ini memang punya makna besar bagi penonton kala itu. Barangkali juga masih ada yang mengingat dengan baik itu sampai dengan sekarang.
Untunglah ada YouTube. Sejak pekan lalu saya mencari dan menemukan film itu. Syukur alhamdulillah kualitas gambar resik dan apik.Â
Deddy Mizwar begitu menjiwai Sunan Kalijaga. Mubalig khas tanah Jawa itu punya kekuatan tersembunyi untuk mengajak umat kepada Islam.
Memang benar, ada beberapa usaha pelurusan dalam film itu. Mungkin hal-hal yang bagi sebagian orang menyentuh hal yang mistik.Â
Misalnya soal apakah benar untuk menjadi murid dan memahami Islam itu Raden Mas Said mesti menunggu tongkat Sunan Bonang di kali selama bertahun-tahun. Ada yang bilang tiga tahun, ada juga yang bercerita sampai 27 tahun!
Terus apakah bertapa memang cara orang Islam memahami sesuatu hal dalam sisi religiositas kita. Kalau bertapa, kapan salatnya? Kalau bertapa, kapan ngajinya? Dan sebagainya.Â
Mungkin memahami ini agak sulit bagi mereka yang tidak satu frekuensi. Mungkin mirip memahami kontroversialnya Syekh Siti Jenar.
Saya tidak ingin kebanyakan di situ. Bagi saya, film ini, terlepas dari pendapat dari sisi konten keagamaan, sangat bagus. Ia memberikan pelajaran kepada kita cerita soal Sunan Kalijaga bisa dibikin semenarik mungkin.Â
Tentu dengan pesan-pesan yang ingin disampaikan. Tentu dengan mempertahankan tradisi Jawa yang khas oleh Sunan Kalijaga.
Demikian pula pelajaran betapa seorang Raden Mas Said yang putra seorang tumenggung, malah berlawanan dan berpihak kepada rakyat kecil yang tertindas. Ini juga sebuah sekuel menarik bagi saya.Â
Seorang sunan punya pemahaman terhadap kezaliman meski itu dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri.
Tapi yang menarik, ketika para sunan bermusyawarah membahas situasi "politik" terkini perihal Kerajaan Majapahit dan usulan untuk menyerang dengan Raden Patah sebagai tokoh sentral, Sunan Kalijaga justru menolak.Â
Baginya, memberontak bukanlah sebuah cara untuk mendapatkan kedudukan dan kemuliaan.
Ia bahkan dengan lugas dan trengginas menjawab apa yang mesti dilakukan jika penguasa selalu berbuat zalim. Kalijaga bilang, dinasihati. Kalau belum mempan, didoakan.
"Majapahit akan runtuh dengan caranya sendiri," kata Deddy Mizwar, eh Sunan Kalijaga.
Soal toleransi juga sarat di film itu. Dakwah dengan kasih sayang. Dakwah dengan tetap menghormati umat beragama lain.Â
Termasuk menjaga perasaan umat Hindu yang menempatkan sapi sebagai hewan yang dimuliakan. Â Sunan Kalijaga memberikan pemahaman itu kepada masyarakata muslim yang mendengar dakwahnya.
Jujur, saya sangat terkesan dengan film itu. Bisa dibilang, pemahaman saya soal Sunan Kalijaga, nyaris seratus persen dibentuk oleh karya sinematografi yang apik itu.Â
Perihal lain sebagai pembanding tentu banyak. Apalagi sekarang ada Google dan ChatGPI.
Kita sekarang sebetulnya membutuhkan film-film religi dengan pesan khas Indonesia semacam Sunan Kalijaga tempo itu. Kita juga butuh penulis skenario, sutradara, dan tenaga andal bidang perfilman untuk bikin lagi yang setara dengan itu.
Mungkin dengan genre yang beda. Mungkin dengan alur cerita yang sesuai dengan zamannya.Â
Yang pasti, roh Deddy Mizwar memang kental. Ini dibuktikan dengan sinetron "Para Pencari Tuhan" yang bertahun-tahun menghiasi layar televisi kita jika memasuki Ramadan.
Ini juga terbilang supersukses. Menghiasi layar televisi kita bertahun-tahun dan menjadi sumber referensi sinema religi yang memberikan pesan tanpa keinginan untuk menggurui.Â
Semoga ke depan kita masih bisa menyaksikan karya semacam ini. Â Wallahualam bissawab. [Adian Saputra]
Foto pinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H