Berpuasa saat Ramadan bukan menjadi alasan untuk tidak semangat dalam belajar. Termasuk dalam meningkatkan keterampilan menulis.
Meski Ramadan, kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik yang saya taja di Mahad Al Jamiah UIN Raden Intan Lampung tetap berlangsung saban Sabtu. Meskipun perut lapar, ide teman-teman yang ikut malah deras dan lancar.
Perut lapar rupanya bikin kontraksi ke otak untuk mengalirkan gagasan. Â Idenya bahkan deras dan lancar. Ini kami buktikan sendiri saat Sabtu lalu kelas tetap diadakan.
Sudah tiga pertemuan ini kami banyak praktik menulis. Wabilkhusus menulis opini.
Beberapa sudah saya sarankan membuka akun di Kompasiana. Tetapi belum banyak yang percaya diri.
Walhasil, tulisan mereka saya unggah di web kecil yang saya dan teman kelola, wartalampung.id. Kebetulan ada kanal opininya.
Sejak dahulu saya memang senang menambah pengetahuan dan keterampilan saat Ramadan. Dengan kondisi lapar dan haus, justru memantik semangat serta motivasi untuk berkembang ke arah yang lebih baik.
Sayang bukan, waktu yang ada terbuang begitu saja jika rebahan saja? Yang ingin kita tekankan adalah jangan sampai Ramadan dijadikan momentum yang tidak produktif. Bukan alasan untuk kita malas saat puasa.
Berpuasa justru mestinya menjadikan kita lebih produktif ketimbang bulan lain. Maka itu, peningkatan kapasitas diri juga penting diadakan.
Saya memang sering mengisi kelas menulis atau jurnalistik saat Ramadan. Selain senang berbagi pengetahuan, momentum Ramadan juga dirasa pas menaja sebuah kegiatan.
Dengan adanya Ramadan, itulah bahan bakar ide yang bisa diolah oleh setiap peserta menjadi karya yang bagus. Tadi saja di kelas, banyak yang menulis dengan tema menarik.
Ada yang menulis soal apa manfaat dari buka bersama. Ada juga yang menulis alasan yang bikin santri enggan ke masjid. Ada juga yang menulis soal menekan kemaksiatan selama Ramadan.
Ada pula yang ingin mengulas soal dilema santri kala Ramadan. Dan masih banyak lainnya.
Memang mesti banyak penajaman. Apalagi untuk dimuat di media massa umum.
Tentu membutuhkan polesan lagi. Beberapa juga membutuhkan penambahan narasi sehingga cukup layak dimuat media massa.
Saya memberi waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk mahasantri mahad menulis. Sesekali mereka tanya ini dan itu.
Usai itu, semua membacakan karya mereka. Sesama teman saling mendengar.
Ada juga yang kasih masukan. Saya memberikan tambahan supaya tulisan makin bagus untuk ditampilkan.
Saya memang wanti-wanti kepada mereka untuk rajin membaca. Baca apa saja.
Dari mulai berita sampai buku-buku. Saya bilang, sebagai generasi Z mereka harus rajin baca dan menolak anggapan kalau generasi ini suka yang instan dan kurang senang membaca.
Saya juga kasih saran, khususnya kepada yang perempuan, kalau mereka cerdas, kans punya anak cerdas saat jadi ibu juga besar.
Termasuk juga kasih pemahaman soal makanan yang baik untuk mereka. Jangan jajan sembarangan dan menambah asupan makanan bergizi sejak sekarang.
Setidaknya, pertemuan saat puasa begini memberikan keyakinan kepada kami kalau kami bisa. Meski dalam suasana Ramadan, kelas jurnalistik tetap asyik.
Semua akhirnya bisa punya karya sebagai penambah kepercayaan diri. Dari tulisan, saya ingin mereka punya keterampilan lain selain basis akademik mereka di kampus.
Ada yang calon guru pendidikan agama Islam, ada yang kuliah di komunikasi, ada juga yang di perpustakaan, dan lainnya. Semua senang berlatih jurnalistik.
Tentu saya tak berpretensi bahwa mereka akan jadi wartawan semua. Tentu tidak.
Tapi setidaknya, meningkatkan keterampilan menulis dan jurnalistik, bisa menjadi pendukung utama mereka usai lulus nanti.
Tak masalah jadi apa saja asal manfaat untuk masyarakat. Dan salah satu kemanfaatan itu adalah saat mereka mampu menulis dengan baik. Selamat berpuasa. [Adian Saputra]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H