Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mengikat Pembaca dengan Feature

24 Maret 2023   10:54 Diperbarui: 24 Maret 2023   22:24 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya pelajaran yang saya dapat itu jurnalisme sastrawi. Namun, banyak jurnalis yang tidak begitu menyukai frasa ini.

Bekas pemimpin redaksi Tempo Arif Zulkifli salah satunya. Demikian juga instruktur jurnalisme bertema lingkungan asal Kompas Harry Surjadi. Harry lebih menyukai jenis penulisan model ini dengan nama creative no fiction.

Meskipun demikian, model karya jurnalistik berita ini lebih kepada cara menulis saja. Ia tidak benar-benar menjadi sebuah isme tersendiri dalam ranah jurnalisme.

Yang namanya karya jurnalistik itu kalau mau disimpelkan adalah kejadian faktual yang mempunyai nilai publik. Karena faktual dan punya nilai publik, ia bisa diwartakan.

Cara menulisnya bisa beraneka ragam. Jurnalis pada umumnya menulis karya jurnalistik berbentuk berita langsung. 

Orang lazim sebut straight news. Ada pula jenis feafure. Ini jenis berita yang dibikin dengan pendekatan detail atau terperinci.

Peristiwa yang direkonstruksi dalam bentuk berita ditulis dengan narasi yang memikat. Feature membuat si penulis lebih mampu mendeskripsikan peristiwa yang ia bikin. 

Detailnya dapat. Perihal terperincinya dijaga dengan baik.

Beberapa senior bilang begini. Show it not tell it. Maksudnya, kalau menulis berita itu jangan hanya dikatakan. Namun, menulis berita itu digambarkan. 

Mengapa begitu? Supaya pembaca bisa menikmati berita feature itu dengan enak. Kita bikin berita yang enak dibaca itu supaya relevan dengan keinginan pembaca.

Jurnalis bikin berita itu maksudnya supaya dibaca. Kasar bicara, buat apa menulis tapi yang baca tidak ada. Buat apa bikin berita tapi yang baca sedikit. 

Oleh sebab itu, jurnalisme memandu jurnalisnya untuk menghasilkan karya yang enak dibaca. Jenis dan cara menulisnya orang sebut feature.

Kini memang akrab istilah jurnalisme sastrawi atau jurnalisme sastra. Pertama mengemuka dalam jurnalisme di Amerika Serikat dengan Tom Wolfe sebagai tokoh sentralnya. Durasi 1960-1970 banyak karya jurnalisme di Amerika Serikat dibikin dengan gaya ini.

Saya pernah ikutan kursus jurnalisme sastrawi ini. Memang nyaris sama dengan feature. Hanya banyak pendalaman saja. Mesti ada tokoh, ada fragmen, ada setting, ada klimaksnya, dan sebagainya.

Akan tetapi, saya ingin mengetengahkan yang simpel saja. Setakat ini saya lebih menyukai memberikan gambaran soal menulis feature. 

Intinya bikinlah karya jurnalistik itu sedetail dan perinci. Ubah gaya menulis dengan pakem langsung kepada cara menulis deskriptif.

Saya akan contohkan beberapa tulisan yang bagus sehingga menjadi contoh. Satu karya besar dunia "Hiroshima" judulnya dibuat oleh John Hersey. Ini tulisan Hersey soal korban selamat bom atom di Hiroshima. 

Hersey langsung ke lokasi kejadian beberapa bulan usai kota itu luluh lantak dihantam atom. Selama tiga bulan Hersey menulis laporan panjang Hiroshima itu. 

Awalnya ia menulis untuk majalah The New Yorker, sebuah majalah beken di Negeri Paman Sam. Usai menulis, Hersey kasih itu kepada editor majalah The New Yorker.

Saking bagusnya, editor bilang akan menurunkan tulisan Hersey itu ke dalam satu majalah khusus. Artinya, tak ada tulisan lain di edisi itu selain tulisan Hersey. 

Tapi pilihan ini tak lazim. Masak iya ada majalah terbit tapi isinya satu tulisan doang. Panjang sih, hanya saja tak umum.

Namun, pilihan redaksi akhirnya menurunkan tulisan Hersey ke dalam satu edisi. Kini, "Hiroshima" jadi karya adiluhung, masterpiece dalam bahasa Inggris.

Sebuah panel dosen jurnalisme dan jurnalis yang diinisasi Universitas Colombia menahbiskan Hiroshima karya John Hersey ini karya jurnalistik nomor satu dunia dalam seabad terakhir. Ia berada di atas In Cold Blood-nya Truman Capote dan Silent Spring-nya Rachel Carlson. 

Hersey menulis dengan detail, perinci, dan begitu deskriptif. Ini bagian awal tulisan Hersey. Saya cetak miring.

Tepat pukul 08.15 waktu Jepang, 6 Agustus 1945, sebuah bom atom meledak di atas Hiroshima.

Saat itu Nona Toshiko Sasaki, seorang juru tulis di departemen personalia perusahaan East Asia Tin Works (Perusahaan Timah Asia Timur), baru saja duduk di kursinya di ruang kantor pabrik. Dia menolehkan kepalanya karena sedang berbicara pada gadis yang bekerja di meja sebelah.

Pada waktu yang bersamaan, Dokter Masazaku Fujii baru saja duduk bersila. Ia sedang membaca Osaka Asahi di teras rumah sakit swasta miliknya. Sebagian bangunan rumah sakit ini dibangun di atas delta sungai yang membelah Hiroshima.

Nyonya Hatsuyo Nakamura, seorang penjahit yang telah menjanda, sedang berdiri dekat jendela dapurnya. Dia melihat tetangganya sedang merobohkan rumahnya sendiri karena rumah itu berada di jalur api pertahanan serangan udara.

Pastur Wilhelm Kleinsorge, seorang pendeta Jerman dari Society of jesus, sedang berbaring di tempat tidurnya sambil membaca majalah penginjilan, Stimmen derr Zeit. Ia hanya berpakaian dalam saja. Kamarnya yang tidak terlalu nyaman itu terletak di lantai paling atas rumah misionari yang terdiri dari tiga lantai.

Dokter Terufumi Sasaki, anggota muda bagian bedah Rumah Sakit Palang Merah yang besar dan modern di Hiroshima, sedang berjalan di salah satu koridor rumah sakit. Dia membawa spesimen darah yang akan digunakan untuk tes wasserman.

Pendeta Kiyoshi Tanimoto, pendeta Gereja Metodis Hiroshima, sedang berhenti sejenak di depan pintu sebuah rumah mewah di Koi, pinggiran kota bagian barat. Dia sedang bersiap-siap untuk membongkar muatan gerobak. Gerobak itu penuh dengan barang-barang yang ia kemasi dari kota. Ia terpaksa bersiap-siap untuk menghindari serangan massal pesawat pengebom yang menurut kabar burung bakal segera menyerbu Hiroshima.

Tulisan Hersey di bagian pengantar ini bagus dan detail. Kita diberikan sajian awal untuk masuk ke dalam cerita setiap tokoh utama dari buku ini. 

Deskripsi yang diketengahkan Hersey sudah tentu berawal dari wawancara yang mendetail. Wawancara dalam situasi pascabom tentu tidak mudah. 

Ada trauma luar biasa saat para penyintas ini bercerita kepada Hersey. Hersey dengan piawai mengemasnya dengan tulisan yang apik. Ini adalah feature yang bagus. Cara menulisnya apik, ceritanya juga ciamik.

Sebuah peristiwa yang baru lewat pun bisa diceritakan dengan deskripsi yang memikat. Untuk menulisnya pun tidak butuh waktu berbulan-bulan seperti kala Hersey menggarap "Hiroshima"-nya.

Sewaktu Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy, ditembak mati, Jumat, 22 November 1963, publik Paman Sam gempar. Kennedy ini salah satu presiden yang paling ganteng, cerdas, flamboyan, dan punya daya tarik yang kuat. Kematian dalam kondisi tragis tentu menjadi bahan cerita yang menarik.

Waktu itu hampir semua pemberitaan relatif biasa. Biasa dalam artian penceritaan soal kematian Kennedy dari mereka yang dikenal publik. 

Sampai kemudian ada jurnalis bernama Jimmy Breslin yang bekerja di New York Herald Tribune, menulis tentang ini juga. Bedanya, narasumber Breslin adalah penggali kubur di Arlington National Cemetery, tempat Kennedy dimakamkan. 

Nama penggali kubur itu Clifton Pollard. Orang inilah yang dijadikan subjek utama oleh Breslin dalam tulisannya. 

Jika para dosen jurnalisme di Amerika Serikat bicara karya jurnalisme tentang kematian orang besar dari sudut pandang orang kecil, karya ini acap dibicarakan.  

Saya sering memberikan motivasi kepada peserta kelas pelatihan agar mereka bisa ambil studi magister jurnalisme di kampus besar di Amerika Serikat. 

Saya bilang begini, kalau nanti dosen kamu bicara soal karya jurnalisme soal kematian Kennedy, dosen kamu itu akan sampaikan persis seperti apa yang saya katakan hari ini. 

Feature Breslin ini juga apik. Tak panjang dan enak dibaca. Di sini kita belajar, kisah orang besar bisa diceritakan dari sudut pandang orang kecil.

Saya kutipkan beberapa alinea dan saya tulis miring. Oh iya, ketik saja di Google "Ini Sebuah Kehormatan Jimmy Breslin". Banyak blog yang memuat tulisan ini dalam bahasa Indonesia.

Clifton Pollard yakin hari Minggu itu dia akan bekerja juga. Pukul 09.00 dia sudah bangun. 

Di apartemen tiga kamarnya di Corcoran Street, dia sudah mengenakan terusan warna khaki lalu menuju dapur untuk sarapan. Istrinya, Hettie, sudah menyiapkan daging panggang dan telur untuknya. Pollard sedang makan ketika ada telepon yang memang dia tunggu.

Telepon dari Mazo Kawalchik, mandor para penggali kubur di Arlington National Cemetery, tempat di mana Pollard bekerja mencari nafkah. "Polly, tolong jam sebelas nanti sudah ada disini, bisa ya?" suruh Kawalchik. 

"Saya kira kau tahu kenapa." 

Ya, Pollard memang sudah tahu. Dia meletakkan telepon, menyudahi sarapan, dan meninggalkan apartemennya. Hari Minggu itu dia lewatkan dengan menggali liang lahat untuk John Fitzgerald Kennedy.

Waktu Pollard sampai di jalan ke gudang kayu bercat kuning, tempat perkakas pemakaman itu disimpan, Kawalchik dan John Metzler sudah menunggunya di sana. 

"Maaf, kau jadi harus kerja hari Minggu," ujar Metzler. 

"Ah, tidak usah ngomong begitu," kata Pollard.

"Bagi saya, berada di sini adalah kehormatan." 

Pollard lalu menuju ke mesin dengan bajak berlawanan arah. Di pemakaman itu, lubang kubur tidak digali pakai sekop. 

Mesin bajak terbalik yang dipakai warnanya hijau dengan mangkuk besar yang menggali tanah ke arah orang yang mengendalikan mesin, tidak menjauh seperti kren.  Di bawah bukit di depan Makam Serdadu tak Dikenal, Pollard mulai menggali. (Catatan Editor: Serdadu itu bernama Custis-Lee Mansion).

Dedaunan menutupi rumput. Ketika gigi-gigi bajak menggaruk tanah, dedaunan itu mengeluarkan suara kres-kres rumput tertebas yang terdengar dari atas motor penggerak mesin bajak. 

Ketika mangkuk pertama menyembul dengan seonggok tanah, Metzler, pengawas pemakaman itu, mendekat dan menatapnya. 

"Tanahnya bagus," kata Metzler. 

"Saya mau menyimpannya sedikit," kata Pollard. 

"Mesin ini ada bekas jejaknya di rumput, nanti saya isi tanah dan tanami dengan rumput subur yang tumbuh di sekitar sini, saya maunya semuanya di sini -- kau tahu -- indah."

Sewaktu mantan Presiden Suharto wafat, hampir semua media massa koran bikin edisi khusus. Saya masih memiliki beberapa koleksi koran edisi kematian Suharto itu. The Smiling General itu mangkat pada 27 Januari 2008. Tanggal dan bulannya sama dengan tanggal kelahiran saya. 

Kebetulan pula waktu SMA kelas kami juara lomba sosiodrama dengan lakon G-30-S/PKI. Saya berperan menjadi Mayjen Suharto, klop bukan?

Di antara karya jurnalistik yang ada, saya terkesan oleh feature pendek dua wartawan Koran Tempo, Muhammad Nur Rochmi dan dan Dwi Wiyana. Di halaman dua edisi khusus Koran Tempo itu, keduanya menulis feature pendek berjudul "Dua Puluh Menit Menuju Cendana".

Saya kutipkan lengkap ya. Ini saya ketik ulang dari edisi korannya.

Bekerja sebagai sopir di Rumah Sakit Pusat Pertamina sejak 1396, Sabarto Tarigan tak pernah menduga akan ketiban sampur, tugas yang tak pernah dibayangkan dan tak bisa ditolak. Dia mesti mengemudikan mobil jenazah yang membawa jasad mantan presiden Soeharto.

"Saya waswas kalau ada apa-apa dengan mobil ini di tengah jalan," kata pria 37 tahun itu saat ditemui Tempo di RSPP kemarin petang.

Saat jarum jam menunjukkan pukul 14.46 wib, mobil bernomor polisi B154-VA itu berangkat menuju Jalan Cendana, kediaman keluarga Soeharto. Keluar melalui pintu kiri rumah sakit, mobil Sabarto didahului oleh 5 motor voorrijder dan satu jip polisi militer.

Melaju dengan kecepatan 50-60 kilometer per jam, mobil jenazah itu diikuti sederet mobil pengiring, termasuk mobil yang ditumpangi mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono.

 Dari Rumah Sakit di Jalan Kyai Maja, mobil Sabarto menyusuri Jalan Sisingamangaraja, Jalan Sudirman, Jalan Thamrin, Bundaran Hotel Indonesia, Jalan Imam Bonjol, Taman Suropati, Jalan Teuku Umar, dan berakhir di Jalan Cendana. Perjalanan itu memakan waktu 20 menit.

Sepanjang perjalanan, banyak warga yang melambaikan tangan.

"Bahkan ada yang melempar bunga di Al Azhar," kata Sabarto.

Dia bercerita, mendapat sambutan seperti itu, Siti Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek Soeharto, yang duduk di samping kemudi, menangkupkan tangan.

"Mungkin menghaturkan terima kasih kepada masyarakat," katanya.

 Lewat kaca spion dalam, Sabarto sesekali melihat ke belakang. Di dalam mobil, Mbak Tutut (Siti Hardijanti Rukmana) dan Titiek Soeharto (Siti Hediarti) terlihat mendampingi jasad Soeharto.

Selain itu, ada 4 perawat pria dari Unit Emergency RSPP. Tutut dan Titek memegang buku kecil dan membaca doa. Tapi Sabarto tak tahu buku apa itu.

"Mungkin itu surat Yasin," kata penganut Protestan itu.

"Tak ada Isak tangis dan air mata".

Pukul 15.06 WIB, mobil Sabarto sampai di Cendana. Setelah semua urusan beres, mobil pun balik kandang. Kali ini Sabarto jalan sendirian. Tak ada lagi voorrijder yang membukakan jalan, juga iring- iringan mobil di belakang. Ia cuma butuh waktu 11 menit sampai RSPP.

"Tanpa pengawalan, kan, saya bisa mengatur kecepatan sendiri," katanya.

 Tugas khusus Sabarto selesai Sudah. Ia tak lagi waswas karena memang tak terjadi apa-apa dengan mobil selama menuju Cendana.

"Saya tak menyangka akan mengantar jenazah Pak Harto," ujarnya. 

Feature memang bisa mengikat pembaca. Sejak awal membacanya, pembaca sudah diikat untuk meneruskan bacaan sampai dengan selesai. 

Feature memang demikian. Ia punya kemampuan menjaga keistikamahan pembaca mengikuti kalimat demi kalimat dalam tulisan itu.

Pembaca seperti sedang didongengkan. Didongengkan adalah kesukaan semua orang. 

Maka itu, kadang, kita suka sekali mendengarkan cerita tentang seseorang. Apalagi kalau disisipi sedikit bahan gibah, ups, astagfirullah.

Waktu bekerja di Lampung Post sebagai asisten redaktur usai lima tahun menjadi korektor bahasa, saya mengutamakan feature ini. Baik bahan tulisan yang saya bikin sendiri, maupun hasil temuan di media massa lain. 

Misalnya ketika memegang halaman internasional, saya mencari beberapa bahan untuk dijadikan feature perihal pemimpin Turki Erdogan. Tulisan feature semacam itu memang menarik. Buktinya, dari bagian sirkulasi bilang, banyak pembaca menunggu terus tulisan itu.

Sampai sekarang juga saya menggemari membaca feature dan menuliskannya. Termasuk beberapa buku yang dimintakan kepada saya untuk menulisnya. 

Tapi sesungguhnya malu juga menyajikan di sini. Jika dibandingkan dengan tiga contoh karya Hersey, Breslin, dan dua wartawan Koran Tempo itu, rasanya masih jauh. Kelas saya masih pembelajar.

Ini feature di buku Paspampres dari Bank Sampah yang saya tulis berdasar permintaan teman di program Kota tanpa Kumuh (Kotaku) untuk Kabupaten Pringsewu Lampung. 

Tulisan ini pernah juga saya masukkan ke Kompasiana dengan judul Paspampres dari Bank Sampah. Silakan dibaca lengkapnya di situ.

Lukman Riyadi hari itu semringah. Hatinya bungah luar biasa.

Persiapan semalam suntuk sudah ia lakukan. Meski tanpa persiapan khusus pun, kerjaan yang didapukkan padanya sejauh ini lakoni dengan baik.

Bank sampah yang ia kelola dan punya nama resmi Tempat Pengolahan Sampah Reuse Reduce Recycle (TPS 3R) Jejama Secancanan di Pringsewu Barat memang saban hari ia urus dengan baik. Namun, hari itu, 5 Juli 2019, lumayan istimewa.

Pasalnya, akan ada tamu yang datang. Seorang perempuan yang akrab disapa Nunik.

Perempuan itu bukan orang sembarangan. Jabatannya mentereng. Wakil gubernur Lampung.

Nama lengkapnya Chusnunia. Ada Chalim di nama belakangnya yang sanadnya bersambung kepada ayahandanya seorang ulama kharismatis di Lampung Timur KH Abdul Halim atau Mbah Halim.

Tahun 2019 adalah tahun keduanya mengelola bank sampah ini sejak memulakannya pada 17 April 2017. Perkembangannya sejak awal sungguh luar biasa. Lukman pun awalnya tak yakin, bank sampah yang ia dan kawan-kawannya kelola bakal sukses seperti sekarang.

Kedatangan Nunik bagi Lukman Riyadi dan kawan-kawannya merupakan sebuah kehormatan. Soal banyak tamu yang datang ke tempat sampah ini memang bukan sesuatu yang luar biasa.

Setiap minggu ada saja yang datang. Selain pejabat, ada juga mahasiswa dan perusahaan. Urusannya pun macam-macam. Dari sekadar melihat-lihat, studi banding, buat bahan laporan, dan lainnya.

Bupati Pringsewu Sujadi Saddat (baru saja berakhir masa jabatannya) pun rajin kemari. Abah Sujadi, begitu orang Pringsewu menyapa bupatinya itu, punya kepedulian yang besar untuk urusan persampahan.

Ada gula ada semut. Peribahasa itu barangkali lumayan pas disematkan untuk TPS 3R Jejama Secancanan ini. Apa pasal sehingga banyak orang mau datang?

Tempat pengelolaan sampah ini yang dikelola Lukman sebagai manajer ini memang istimewa. Selain mengolah sampah menjadi kompos, memisahkan sampah rongsokan untuk dijual kembali, pegiat di sini kreatif.

Di bawah ini feature untuk buku biografi Abdul Hakim, senator asal Lampung di DPD RI.

Harum durian tercium kemana-mana kala Kampung Kadujurig sedang musim buah beraroma khas itu. Jika sedang berbuah, penikmat buah beraroma tajam ini bisa suntuk menunggui jatuhannya.

Kata para penikmat durian, buah jatuhan rasanya lebih enak dan legit ketimbang yang diperam.

Kampung di Kecamatan Pandeglang itu memang dulu dikenal sebagai salah satu destinasi buah durian setempat. Namun, sering ada keanehan kala musim durian tiba.

Beberapa buah durian yang bunyi "gedebuk" saat jatuh, hilang tak berbekas saat dicari. Dan peristiwa ini lumayan sering terjadi dahulu kala.

Orang setempat berkelakar, mungkin diambil hantu yang dalam bahasa Sunda disebut dengan jurig. Sedangkan durian dalam bahasa Sunda setempat disebut dengan kadu. Walhasil nama kampung kecil nan indah serta dikelilingi sungai-sungai jernih berair deras ini dikenal dengan nama Kampung Kadujurig.

Kadujurig dulunya masuk ke dalam wilayah Kecamatan Cimanuk. Namun kini masuk dalam wilayah Kecamatan Cipeucang.

Letaknya di kaki Gunung Pulosari membuat suasana kampung ini sejuk, asri, dan indah. Jika malam, pemandangan di bawah indah terlihat dari puncak gunung.

Sungai-sungai jernih membelah Kadujurig dan menjadi sumber utama air bagi warga setempat. Air mengalir langsung dari mata air di kaki gunung. Jernih dan deras.

Beberapa warga menampungnya untuk kolam mereka dengan ikan-ikan sebagai peliharaan. Anak-anak kampung ini acap bermain di aliran sungai yang bersih dan jernih.

Di kampung inilah, Abdul Hakim lahir dari pasangan Mukhtasyar bin Jawarsa dan Hj. Atiyah binti H. Jasrif. Hakim anak ketiga. Dua kakaknya yang lain adalah M Aceng Hendrawan (almarhum) dan Hj Juhaenah atau biasa disapa Teh Enjuh.

Selamat mengikat pembaca dengan feature. Andai tidak mengikat, ya tak masalah. Yang penting kita berusaha menyajikan karya yang layak, pantas, relevan, dan menarik. [Adian Saputra]

Foto pinjam dari sini

Jika berkenan silakan membaca beberapa artikel menarik di Kompasiana

6 Tips Produktif Menulis Kala Ramadan

Jilbab dan Sebatang Rokok

4 Alasan Mahasiswi Perguruan Tinggi Islam Pakai Jilbab Hanya di Kampus

Agama Saya Jurnalisme, Agama Kamu Apa

Swasunting Bikin Artikel Ramping dan Berdaging

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun