Sepengamatan saya, semua mahasiswa di sini diajarkan soal budaya Lampung. Ada satu sapaan khas ketika memulai acara dan sudah di-perda-kan. Seusai mengucap assalamualaikum, kita "wajib" bilang "tabik pun". Nanti hadirin yang mendengar menjawab "ya pun".Â
Ini kalimat permohonan izin untuk memulai sebuah kegiatan. Sopan santun dimulai dari situ. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Waktu sambutan perwakilan mahasiswa program pertukaran ini ia piawai mengucapkan "tabik pun" yang kemudian dijawab hadirin "ya pun".
Mahasiswa juga diajak ke Museum Lampung. Mereka lihat betapa kaya adat istiadat di provinsi yang punya aksara sendiri ini.Â
Mereka juga bisa lihat beberapa benda yang disimpan di sini. Ada yang menarik yakni beberapa benda usai letusan akbar Gunung Krakatau pada 26 Agustus 1883.
Yang juga menarik, para mahasiswa ini belajar bikin tapis. Tapis adalah kain khas Lampung dengan dominasi warna keemasan. Tapis tak hanya dikenakan untuk acara adat. Tapis kini menjadi keseharian masyarakat.
Jika ada kondangan, lazim sekarang panitia khususnya ibu-ibu mengenakan kain tapis. Membuat kain tapis butuh waktu juga.Â
Lamanya bergantung pada pola yang hendak dipetakan di kain tersebut. Tapis kini juga acap menjadi selempang yang dikenakan tuan rumah kepada tetamu yang datang.
Kini jika ada pejabat dari pusat datang ke Lampung, sejak di bandara sudah dikalungi kain tapis. Ada juga yang diberikan kopiah bermotif tapis.
Para peserta program pertukaran mahasiswa merdeka ini juga belajar membikin tapis. Mereka khidmat saksama memperhatikan bagaimana lumayan rumit membuat tapis.
Achmad Yudi Wahyudin, Wakil Rektor IV Universitas Teknokrat Indonesia, yang didapuk bertanggung jawab soal ini, bilang ia senang mahasiswa dari luar ini belajar budaya Lampung. Mereka bisa mengenal bahkan mendalami budaya Lampung dengan baik. Tak sekadar ucapan salam, tapi juga budaya dalam fisik yang nyata seperti kain tapis ini.
Saya terkesan juga waktu malam penglepasan itu. Di tengah acara, ada satu penampilan yang buat saya tertegun.Â