Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memotret Relasi Penguasa dan Media Massa

20 Maret 2023   08:26 Diperbarui: 23 Maret 2023   13:25 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruang redaksi Lampung Post sekitar tahun 2010. Perhelatan pemilihan kepala daerah sudah selesai. 

KPU memang belum selesai menghitung suara hasil rekapan di tingkat bawahnya. Namun, dari hitung cepat sejumlah lembaga, sudah bisa diprediksi siapa saja yang menang, siapa yang terjungkal.

Malam itu, suasana lantai dua kantor kami ramai. Saya masih bekerja sebagai korektor bahasa kala itu. Tidak melakukan liputan, tapi memeriksa naskah untuk dirapikan sehingga makin enak dibaca.

Posisi tempat duduk saya persis menghadap tangga. Jadi, jika ada seseorang masuk ke ruang redaksi dari tangga utama ini, sayalah yang pertama kali lihat. Posisi badan khususnya mata saya pas ke bibir terakhir anak tangga itu.

Beberapa calon kepala daerah yang menang, sejak usai Isya banyak yang datang ke kantor. Mereka berpasangan dan didampingi sejumlah tim sukses. 

Sejak dari anak tangga saja suara ramai sudah terdengar. Pemimpin redaksi kami, Djadjat Sudradjat, bahkan menunggu di depan ruangan. 

Begitu sang pemenang datang, dari jauh tangannya sudah terkembang. Bos kami menyambut hangat pelukan itu. 

Wajah calon yang menang itu cerah sekali. Wajah wakil kepala daerahnya juga semringah.

Usai cipika-cipiki, pasangan yang menang masuk ruang kerja pemimpin redaksi. Sebetulnya ada ruang aula yang lebih besar. Tapi mungkin karena ada pertimbangan tertentu, tamu kehormatan disuruh di ruang kerja bos di ranah redaksi.

Malam itu ada beberapa pasangan calon kepala daerah yang menang bersilaturahmi ke kantor. Pokoknya ruangan kami malam itu ramai. 

Semua jenak tertawa bahagia. Pesta demokrasi usai, pemenang pun segera ditahbiskan.

Hal itu sudah terjadi sejak lama. Saya masuk koran ini saja tahun 2004 dan itu juga masa pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. 

Sejak awal pilkada dimulai saja, banyak calon yang main ke kantor. Tujuan utamanya memperkenalkan diri. Masa itu, tentu saja ada permintaan kalau akrivitas kampanye mereka diberitakan. 

Masa 2004 dan 2010, era media sosial belum seperti sekarang. Peran koran masih signifikan. 

Sumber referensi orang, termasuk untuk pemilu dan pilkada, masih koran minded. Itu dulu ya, lain tentunya dengan sekarang.

Koran tentu punya divisi marketing yang tujuan utamanya cari uang. Mereka juga senang kalau banyak calon kepala daerah datang ke kantornya. 

Ada kesempatan menawarkan program di koran. Tentu berbayar, masak gratis. Jadi, ada simbiosis mutualisme yang didapat. Politikus dapat ruang, media massa dapat uang. 

Sudah jelas halal karena babnya kerja sama. Nota kesepahaman-lah kalau isitilah sekarang. MoU.

Tapi memang, sampai dengan sekarang, peran media massa masih besar. Khususnya dalam konteks politik. 

Aktivitas politik akan semakin kerasa gregetnya jika media arus utama memberitakan. Meskipun viral di media sosial, belum afdal rasanya jika media massa arus utama belum kasih ruang.

Karena ada simbiosis semacam itu, peran media massa arus utama tetap signifikan. Ini pula sebabnya sampai dengan sekarang politikus tetap menjadwalkan silaturahmi ke media massa jika hendak berhajat. 

Itu dilakukan untuk membuka kebekuan pergaulan dan memulai kerja sama yang baik. Meski sibuk sekalipun, mereka tetap memaksakan datang duluan ke media massa. Apatah lagi posisi mereka unggul dalam hitung cepat dengan selisih yang lumayan telak.

Susilo Bambang Yudhoyono mungkin mesti mengingat SCTV yang kala itu dipimpin Karni Ilyas di Liputan6-nya. Mengapa demikian? 

Karni Ilyas-lah yang merancang acara khusus wawancara dengan Yudhoyono usai jenderal itu tak lagi menjadi menkopolkam era Presiden Megawati Sukarnoputri. 

Karni sudah mencium gelagat kalau ke depan jenderal ini akan menjadi sosok penting. Sebuah garizah yang di kemudian hari benar. 

Yudhoyono adalah presiden Indonesia hasil dua kali pemilu, 2004 dan 2009. Ia berkuasa 10 tahun, dari 2004 hingga 2014.

Karni-lah yang mengundang Yudhoyono untuk bercerita apa yang terjadi saat itu. Usai tayangan di Liputan6 SCTV itu, Yudhoyono bak bintang terang. 

Namanya semakin moncer. Perolehan perdana Partai Demokrat besutannya lumayan tinggi hingga ia diusung jadi presiden dan menang. 

Maka, kalau Yudhoyono masih berkarib dengan media massa, itulah wujud ingatannya dulu pernah diberi ruang oleh media massa.

Jokowi bersama wartawan. Sumber foto Kompas.com
Jokowi bersama wartawan. Sumber foto Kompas.com

Jokowi juga demikian. Ia tentu masih ingat kala sebuah liputan MetroTV saat ia memindahkan pedagang pasar ke lokasi lain tanpa ada keributan. Bahkan, dibuat seperti karnaval budaya. 

MetroTV bisa dibilang media massa pertama yang mengangkat nama Jokowi ke pentas nasional. Jokowi kala itu masih wali kota Solo. Tapi, intuisi bos di MetroTV barangkali sudah mengendus orang ini bakal jadi presiden kelak. 

Garizah itu kemudian benar. Bahkan, Jokowi dua periode pimpin Indonesia sebagai presiden.

Karena itu, wajar saja, meski Jokowi rada nyesek Nasdem pimpinan Surya Paloh calonkan Anies Baswedan, ia tetap mengalokasikan waktu ngobrol berjam-jam dengan Surya Paloh. 

Paloh adalah bos MetroTV, media massa yang lumayan kasih ruang besar untuk Jokowi. Simbiosis itu masih terjaga sampai dengan sekarang. Itulah pula yang masih merekatkan interaksi politikus dengan media massa. 

Apatah lagi bos medianya juga sudah masuk ke ranah politik praktis dengan pegang posisi ketua umum. Nasdem juga termasuk partai pertama yang usung Jokowi bersama PDI Perjuangan kala pilpres tahun 2014.

Jadi, bagaimana media massa tak punya kedudukan penting jika ceritanya seperti itu. Relasi keduanya erat. Entah sampai kapan. [Adian Saputra]

Foto pinjam dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun