Semua jenak tertawa bahagia. Pesta demokrasi usai, pemenang pun segera ditahbiskan.
Hal itu sudah terjadi sejak lama. Saya masuk koran ini saja tahun 2004 dan itu juga masa pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.Â
Sejak awal pilkada dimulai saja, banyak calon yang main ke kantor. Tujuan utamanya memperkenalkan diri. Masa itu, tentu saja ada permintaan kalau akrivitas kampanye mereka diberitakan.Â
Masa 2004 dan 2010, era media sosial belum seperti sekarang. Peran koran masih signifikan.Â
Sumber referensi orang, termasuk untuk pemilu dan pilkada, masih koran minded. Itu dulu ya, lain tentunya dengan sekarang.
Koran tentu punya divisi marketing yang tujuan utamanya cari uang. Mereka juga senang kalau banyak calon kepala daerah datang ke kantornya.Â
Ada kesempatan menawarkan program di koran. Tentu berbayar, masak gratis. Jadi, ada simbiosis mutualisme yang didapat. Politikus dapat ruang, media massa dapat uang.Â
Sudah jelas halal karena babnya kerja sama. Nota kesepahaman-lah kalau isitilah sekarang. MoU.
Tapi memang, sampai dengan sekarang, peran media massa masih besar. Khususnya dalam konteks politik.Â
Aktivitas politik akan semakin kerasa gregetnya jika media arus utama memberitakan. Meskipun viral di media sosial, belum afdal rasanya jika media massa arus utama belum kasih ruang.
Karena ada simbiosis semacam itu, peran media massa arus utama tetap signifikan. Ini pula sebabnya sampai dengan sekarang politikus tetap menjadwalkan silaturahmi ke media massa jika hendak berhajat.Â