Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jilbab dan Sebatang Rokok

14 Maret 2023   15:19 Diperbarui: 21 Maret 2023   15:10 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan pertama yang saya lihat merokok adalah nenek saya. Nenek dari garis Papi ini memang kuat fisiknya. Dulunya pekebun sehingga punya fisik yang oke punya. 

Kalau ada di kampung, ia bugar sekali. Kalau diajak ke kediaman anak-anaknya, malah suka sakit. Mungkin lantaran biasa bergerak kemudian diam saja akhirnya malah sakit.

Nenek sudah wafat beberapa tahun yang lampau. Mungkin ketika wafat usianya sudah 90-an hampir 100. Itu kata Papi.

Nenek memang tidak merokok saban hari. Sesekali saja. Kadang sebulan sekali, pas dia mau saja. 

Itu pun ambil rokok dari punya Papi yang juga tak tiap hari ngudut. Tapi, soal perempuan pertama kali yang saya lihat merokok itu ya nenek.

Ada juga salah seorang uwak yang merokok. Kalau yang ini merokok aktif. Kayak sepur. 

Habis sebatang, bakar lagi satu. Demikian seterusnya. Semoga Uwak sehat selalu.

Lihat perempuan merokok lagi waktu ikut lokakarya antikorupsi di Bogor tahun 2002. Usai makan siang, peserta lokakarya santai di pinggir kolam renang sebuah hotel di Bogor. 

Ada peserta yang mengisap rokok. Kalau laki sih biasa ya. Ini perempuan. Tidak berjilbab. Asyik dan santai sekali.

Lihat lagi perempuan merokok lagi beberapa tahun belakangan. Usai diajak kawan makan siang, kami bersantai. Secangkir kopi pahit jadi teman. 

Agak jauh dari meja makan kami, seorang perempuan pakai jilbab menyalakan pemantik api. Ia merokok dengan santai. 

Asapnya diembuskan ke atas. Tak ada canggung meski di situ ada beberapa pengunjung restoran lainnya.

Dari pakaiannya seperti orang kantoran. Kemeja rapi. Celana kain. 

Di ujung telunjuk dan jari tengah kirinya terselip sebatang rokok putih. Nyala apinya kasatmata ketika ujung filter diisap kuat.

Makin ke sini, makin sering ketemu perempuan berjilbab yang merokok. Kemarin selewat mata memandang, beberapa pendemo duduk santai usai unjuk rasa. 

Beberapa di antaranya perempuan pakai jilbab. Sambil duduk dan mengobrol, di tangannya terselip rokok putih. Asyik sekali melihatnya ngobrol sembari sesekali melepas asap ke udara.

Soal ada perempuan, wabilkhusus dengan jilbab merokok, hak masing-masing. Kita tak berhak memberikan pesan simbolik kalau mereka itu nakal. 

Saya tidak ke situ arah menulisnya. Soal mereka pakai jilbab, justru bagus menurut saya. Artinya setakat ini agaknya mereka paham apa kewajiban muslimah terhadap badannya. Dengan membungkus diri pakai jilbab, itu sebuah hal yang kita apresiasi.

Soal merokok? Ya sama saja. Tak ada beda laki yang merokok, ustaz yang merokok, kiai yang merokok, perempuan jilbab merokok, perempuan tak hijab merokok, ya sama saja buat saya.

Itu hak masing-masing. Sepanjang tidak merugikan. 

Apa merugikan contohnya? Anda merokok dalam ruang publik yang banyak anak-anak. Anda merokok tapi membuang puntung sembarangan. Anda merokok tapi buang abu ke sembarang tempat.

Sepanjang dia dilakukan di tempatnya, oke-oke saja. Persoalannya tinggal pada persepsi kita. Kalau sejak awal pikiran kita sudah menjustifikasi perempuan merokok itu nakal, saran saya dikikis saja pelan-pelan. 

Kita tak bisa menjustifikasi perempuan itu atau pria itu dari satu kejadian. Baru juga lihat si A merokok, kita sudah ambil generalisasi dia perokok. Ya belum tentu juga.

Baru lihat perempuan pakai jilbab merokok, kita sudah memersepsikan jelek. Dalam hati dan pikiran kita, "Ngapain pakai jilbab kalau masih merokok." 

Itu juga saran saya dikikis perlahan-lahan. Tidak semua yang kita lihat pada kesempatan pertama itu bisa digeneralisasi.

Buat warganet, juga tak bisa merekam seorang perempuan jilbab merokok kemudian mengunggah ke media sosial. Soal perempuan jilbab merokok, itu hak dia. 

Itu wilayah privat namanya. Privilese namanya. Bukan ranah publik. 

Maka itu, warganet hati-hati juga untuk mengabadikan sesuatu yang ke depannya bisa timbul masalah.

Jangan kepo sama urusan orang lain. Jangan lekas berprasangka pada satu kejadian yang baru itu kita lihat. Jangan juga menggeneralisasi.

Mungkin perempuan yang merokok itu baru kali itu mengisap sigaret. Ia sekadar ingin mencicipi bagaimana rasanya mengisap sebatang rokok filter. 

Ia ingin tahu bagaimana kebahagiaannya melepas asap ke udara. Juga baru pertama kali merasakan betapa enak merokok dengan teman-teman sambil ketawa-ketiwi.

Mungkin juga perempuan berjilbab yang merokok itu juga baru perdana mencoba. Ia bukan perokok pada dasarnya. Sekadar ingin mencoba saja. 

Bisa jadi juga perempuan berjilbab merokok itu seorang alpha female yang sedang mencari solusi atas persoalan di perusahaannya. 

Lagipula tak ada teks haram yang rigid bagi seorang perokok. Alangkah banyak santri dan kiai yang merokok di pondok pesantren.

Yang merokok harap hormati yang tidak merokok. Yang tidak merokok ya pahami mereka yang suka masuk kategori "ahli isap".

Dalam konteks jurnalisme, pelajaran yang bisa diambil dari jilbab dan sebatang rokok ini adalah urusan privat atau publik. Kalau urusan privat, tak usah repot mau direportase segala. 

Kecuali kita bikin tulisan dampak rokok terhadap stunting. Betapa banyak orang maaf miskin yang konsumsi rokoknya tinggi. Padahal duit beli rokok bisa dipakai beli susu, telur, dan ikan untuk anak-anaknya. 

Itu wilayah publik namanya. Itu bisa diliput, bisa diberitakan, bisa diwawancara.

Pelajaran lain adalah jangan lekas-lekas menjustifikasi, menghakimi, atau punya kesimpulan. Dugaan boleh, premis oke saja. Dugaan kemudian dianalisis dengan alat yang pas. Dari penghitungan itu kita baru tahu konteks rokok tadi masuk pada ranah apa.

Kalau kita ingin menjadikan perempuan jilbab merokok menjadi karya jurnalistik. Misalnya, mau tanya sama mereka berapa persen konsumsi rokok dari pendapatan, oke saja. Silakan wawancara dengan baik. 

Sapa dengan sopan. Kenalkan diri kita sebagai wartawan yang hendak menulis soal persepsi publik soal rokok dan perempuan berjilbab. Jelaskan sedetail mungkin. 

Tunggu respons dia mau atau tidak. Jika mau, silakan tanyakan dari A sampai Z sehingga menjadi tulisan yang komprehensif. 

Atau mau bikin tulisan ringan juga bisa. Mungkin si perempuan berjilbab tadi ada komunitas mereka yang suka merokok. Apa nama komunitas mereka. 

Kegiatannya apa saja. Ada kegiatan sosial apa tidak. Bagaimana mereka menangkis persepsi orang soal perempuan jilbab kok merokok. Dan sebagainya dan sebagainya. Dari situ kita bisa menulis human interest dalam kadar jurnalisme yang pantas.

Oh iya, judul tulisan ini bukan asli dari pikiran saya. Saya pertama dengar kalimat ini dari seorang sutradara asal Jakarta yang kontak saya tahun 2016. Seorang mahasiswi yang saya ajar memberikan kepada sutradara ini. Sutradara ini rupanya punya hajat bikin film.

Seorang produser lokal mau membuat film. Judul film yang disorongkan itu "Jilbab dan Sebatang Rokok". Ia ketemu saya untuk minta tolong. 

Hajatnya adalah bikin konferensi pers soal rencana bikin film itu. Ia minta saya kontak belasan wartawan televisi, koran, dan online untuk hadir. Acara kurang lebih dua pekan lagi.

Waktu itu saya juga kebetulan baru saja merampungkan sebuah novel. Isinya tentang kegigihan anak-anak SMA dalam melawan segala bentuk korupsi di sekolah. Usai dengar itu, ia malah minta novel itu.

Pendek cerita, film yang dipersiapkan awal berubah total ide cerita ke naskah novel yang saya bikin. Cerita sampai situ saja dulu. Soalnya, mau cerita nasib film dari hasil adopsi cerita novel ini bikin sedih.

Balik ke jilbab dan sebatang rokok. Ia memang benaran ada. Fenomena itu memang tampak. 

Mungkin masih nyumput-nyumput. Tapi ada yang santai saja merokok meski berkerudung. Sikap saya itu dikembalikan lagi kepada orangnya masing-masing.

Setiap orang ada alasan untuk itu. Sekadar mencoba, bikin rileks diri, ekspresi menahan cemas, atau sudah menjadi keseharian, dan sebagainya. Yang sudah jelas tidak boleh adalah buang abu dan puntung sembarangan. 

Atau memilih mengisap sigaret ketimbang membelanjakan untuk kebutuhan protein hewani anak-anak di rumah. Terima kasih sudah mau membaca dengan durasi yang lumayan lama. [Adian Saputra]

Foto pinjam dari sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun