Dari informasi itu, jurnalis melakukan verifikasi untuk menjadikan itu sebagai sumber tulisan. Usai verifikasi, barulah wartawan menulis sehingga menjadi lebih lengkap. Juga menjadikan berita komprehensif dan tidak tendensius.
Namun, semua agaknya sepakat, sekarang eranya warganet yang berkuasa. Setiap kita adalah warga internet yang kemudian akrab diringkas warganet.Â
Semua kita punya telepon seluler yang 24 jam tersambung dengan internet. Semua kita punya ponsel yang di dalamnya beragam aplikasi media sosial.Â
Dan setiap kita punya kans mereportase duluan sebuah peristiwa sebelum itu jadi berita dalam konteks jurnalisme yang sesungguhnya.
Kita perlu bersyukur, dunia sudah seperti sekarang. Setiap orang ada kebebasan untuk menjadi reporter untuk akun media sosialnya sendiri.Â
Meski demikian, memang ada etiket yang mesti dipegang supaya tidak masuk ke ranah hukum.
Karena demikian masifnya warganet memengaruhi dunia maya, sangat wajar kalau kelompok ini dan kita ada di dalamnya, sebagai pilar ke-5 demokrasi. Buat saya, dengan konteks zaman sekarang, itu sesuatu yang wajar.Â
Saat media massa abai terhadap satu persoalan, warganet sudah cukup sebagai pemantik. Bukankah turunnya banyak pemimpin dunia di belahan dunia juga dimulai dari media sosial. Termasuk revolusi besar di Mesir dan beberapa negara Arab yang kemudian dikenal sebagai Arab Spring.
Terlepas dari apakah semua warga dunia ini paham etiket di media sosial, kekuatan orang sipil sekarang luar biasa. Tak ada lagi satu ruang pun di publik ini yang bisa lepas dari sorotan.Â
Di mana-mana ada kamera. Di mana-mana ada CCTV. Di mana-mana ada mereka yang nyinyir sekaligus kritis. Di mana-mana ada orang yang siap menjadi reporter warga.
Kebakaran pasar, penemuan mayat, kecelakaan lalu lintas, kejadian ASN pukul penjual makanan, sopir mobil mewah tabrak motor butut, dan lainnya, semua segera bisa cepat tersiar. Di satu sisi memang mengerikan, di sisi lain ia adalah bentuk tanggung jawab sosial.Â