Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pantaskah Jurnalisme Warga Pilar Ke-5 Demokrasi?

14 Maret 2023   06:46 Diperbarui: 14 Maret 2023   11:22 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memotret suasana wisuda. Dokumentasi Pribadi

Banyak kasus hukum terungkap yang diawali dengan unggahan warganet. Konten itu bisa diambil atau direkam sendiri oleh mereka maupun meneruskan dari bahan yang ada. Contohnya dari rekaman kamera CCTV.

Kita bisa tahu ada pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo yang punya harta berlimpah awalnya juga dari netizen atau warganet. Diawali oleh kasus kekerasan oleh anak kandung Rafael, berimbas seperti sekarang.

Kita juga tahu ada pejabat Bea Cukai punya harta tak wajar dari "pencarian" warganet di dunia maya. Lewat unggahan-unggahan itu, kita bisa tahu masih banyak pejabat anak buahnya Sri Mulyani yang kaya raya.

Merujuk ke belakang, saat tsunami di Aceh tahun 2014, juga demikian. Rekaman video seorang warga biasa kemudian viral dan diambil MetroTV. Itulah gambar atau video pertama yang menggambarkan dahsyatnya tsunami Aceh.

Di Mumbai juga demikian, penyanderaan terhadap tamu hotel juga bisa dilihat lewat tayangan video seorang warga biasa.

Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam buku 9 Elemen Jurnalisme, awalnya tidak menulis soal tanggung jawab warganet ini. Namun, karena kian ke sini gerakan warganet masif dalam dunia maya, keduanya menulis buku khusus soal itu: Blur. 

Jadilah sekarang dari 9 menjadi 10 elemen jurnalisme. Elemen ke-10 menyangkut soal tanggung jawab warga terhadap informasi.

Media massa kerap disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Tiga yang sudah familer adalah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Media massa atau pers diklasifikasikan sebagai pilar keempat demokrasi karena menjaga demokrasi dengan baik.

Berita media massa adalah alat kontrol terhadap penguasa. Negara dalam hal ini. Dan semua bentuk kekuasaan dalam semua ranah. Karena media massa punya fungsi anjing penjaga itu, ia kemudian karib dengan sebutan pilar keempat demokrasi.

Kini, ruang media massa kita kebanyakan justru diambil dari informasi media sosial. Wartawan kalah cepat dengan warga biasa yang kebetulan merekam peristiwa. 

Mengambil gambar sesuatu yang punya nilai berita. Kritis terhadap temuan mereka di lapangan.

Dari informasi itu, jurnalis melakukan verifikasi untuk menjadikan itu sebagai sumber tulisan. Usai verifikasi, barulah wartawan menulis sehingga menjadi lebih lengkap. Juga menjadikan berita komprehensif dan tidak tendensius.

Namun, semua agaknya sepakat, sekarang eranya warganet yang berkuasa. Setiap kita adalah warga internet yang kemudian akrab diringkas warganet. 

Semua kita punya telepon seluler yang 24 jam tersambung dengan internet. Semua kita punya ponsel yang di dalamnya beragam aplikasi media sosial. 

Dan setiap kita punya kans mereportase duluan sebuah peristiwa sebelum itu jadi berita dalam konteks jurnalisme yang sesungguhnya.

Kita perlu bersyukur, dunia sudah seperti sekarang. Setiap orang ada kebebasan untuk menjadi reporter untuk akun media sosialnya sendiri. 

Meski demikian, memang ada etiket yang mesti dipegang supaya tidak masuk ke ranah hukum.

Karena demikian masifnya warganet memengaruhi dunia maya, sangat wajar kalau kelompok ini dan kita ada di dalamnya, sebagai pilar ke-5 demokrasi. Buat saya, dengan konteks zaman sekarang, itu sesuatu yang wajar. 

Saat media massa abai terhadap satu persoalan, warganet sudah cukup sebagai pemantik. Bukankah turunnya banyak pemimpin dunia di belahan dunia juga dimulai dari media sosial. Termasuk revolusi besar di Mesir dan beberapa negara Arab yang kemudian dikenal sebagai Arab Spring.

Terlepas dari apakah semua warga dunia ini paham etiket di media sosial, kekuatan orang sipil sekarang luar biasa. Tak ada lagi satu ruang pun di publik ini yang bisa lepas dari sorotan. 

Di mana-mana ada kamera. Di mana-mana ada CCTV. Di mana-mana ada mereka yang nyinyir sekaligus kritis. Di mana-mana ada orang yang siap menjadi reporter warga.

Kebakaran pasar, penemuan mayat, kecelakaan lalu lintas, kejadian ASN pukul penjual makanan, sopir mobil mewah tabrak motor butut, dan lainnya, semua segera bisa cepat tersiar. Di satu sisi memang mengerikan, di sisi lain ia adalah bentuk tanggung jawab sosial. 

Meski, seperti saya bilang tadi, kejadian sesungguhnya membutuhkan ilmu untuk menjadi karya jurnalistik. Ia mesti tidak tendensius. 

Ia mesti mengambil keterangan dari dua atau tiga pihak. Ia mesti memberikan ruang, waktu, dan kolom yang sama di media massa.

Saya ingin mengampanyekan ini dengan tegas. Bahwa warganet atau orang sipil adalah kekuatan demokrasi yang ke-5. Kita adalah pilar ke-5 demokrasi. 

Frasa yang paling tepat agaknya jurnalisme warga. Sebab, frasa ini merujuk pada sebuah isme besar dalam jurnalisme yang berkelindan dengan warga biasa. Jurnalisme warga kini adalah kekuatan yang semakin menunjukkan perannya. 

Kekuasaan tak boleh macam-macam dengan kami. Bekerjalah wahai kekuasaan dengan benar dan wajar.

Buat para pejabat publik, berhentilah korup. Jaga istri dan anak kalian, dari arogansi dan suka pamer di media sosial. 

Sebab, semua orang kita sudah ditahbiskan sebagai reporter warga. Baik mereka yang paham etiket maupun yang belum.

Untuk semua warganet Indonesia, saya sarankan mulai sekarang banyak-banyak baca jurnalisme. Salah duanya 9 Elemen Jurnalisme dan Blur. 

Kedua buku itu yang menulis namanya Bill Kovach, "nabi "jurnalisme" yang banyak disebut pakar sebagai "nuraninya jurnalisme dunia".

Saya sarankan juga baca-baca UU tentang ITE, UU tentang Pers, dan lainnya. Supaya makin pintar dan ketika menemukan sesuatu segera mem-posting konten dengan cerdas dan terhindar dari jeratan hukum.

Mari sama-sama kita dengungkan dan kampanyekan bahwa kita adalah kelompok sipil bersenjata. Ya bersenjata. 

Senjata kita bukan pistol atau senapan serbu. Senjata kita adalah otak yang punya gagasan, serta gawai yang sarat media sosial. 

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam kongres di Bukittingi tahun 2014 juga menghasilkan keputusan progresif. Jurnalis warga bisa menjadi anggota. 

Tadinya, mereka yang masuk AJI adalah wartawan aktif atau penulis lepas yang secara teratur menghasilkan karya jurnalistik. Sejak 2014 itu AJI membolehkan warga biasa masuk menjadi anggota dengan syarat aktif mengunggah karya jurnalistik.

Inilah saatnya publik Indonesia dan dunia makin percaya diri bahwa kita adalah pilar paling penting dalam ranah demokrasi sekarang. 

Anda tak percaya? Silakan saja. Namun, saya berketatapan hati kini memang era dan zamannya jurnalisme warga menjadi pilar penting dalam demokrasi.

Saya meyakini premis ini benar adanya. Selamat datang dan selamat berkarya buat pilar ke-5 demokrasi. [Adian Saputra]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun