Google menunjukkan ini lo blognya. Ini lo berita di media arus utamanya. Ini lo penulis yang sudah bikin buku soal hal yang mau ditanyakan. Demikian seterusnya.
Kalau ChatGPT, kita tidak tahu dari sumber mana kalimat demi kalimat itu keluar. Kecuali kita bertanya secara spesifik yang mesti kita cek ulang dengan sumber lain. ChatGPT pasti merekam bahan dari segala lini kemudian meramunya dari beragam sumber.
Kita menulis opini juga dari beragam sumber. Tapi kita sebagai orang yang menulis memang ada. Sehingga, kita sebagai penulis bisa dimintai pertanggungjawaban atas kredibilitas karya yang kita bikin.Â
Tulisan ini misalnya. Ini saya yang bikin. Pembaca berhak bertengkar pendapat soal ini sebagai ada subjek penulisnya yaitu saya.
Kalau ChatGPT, dari sumber mana ia kemudian mendedahkan soal yang mau ditanya. Katakanlah kita tanya ke ChatGPT, tolong sih Bang ChatGPT kasih saran kepada saya lima kiat menulis opini.
Kemudian dia kasih jawaban dengan artikel yang tertulis sangat rapi dan resik bahasa Indonesianya. Sebagai sebuah bacaan untuk kita menambah pengetahuan dan mempraktikkannya sih ok. Misalnya kita ikuti semua tips dari mesin pintar ini soal bagaimana cara menulis opini.
Namun, kalau kita hendak mengutipnya sebagai rujukan dan itu ditanyakan pada sebuah forum, bagaimana? Apa kita jawab pertanyaan penguji skripsi, misalnya, dari mana data ini kamu dapat? Kita jawab, dari ChatGPT, pak/bu dosen.
Kita tentu sulit mau menjadikan hasil ketikan mesin ChatGPT ini sebagai referensi. Masih mending masuk ke Google kemudian Google tunjukkan referensi yang jelas.Â
Ketika kita ditanya, misalnya, dari mana data soal pemilih pemula di pemilu 2024, kita enak balasnya. Dari survei Kompas tanggal sekian bulan sekian tahun sekian di edisi kesekian.Â
Sumbernya ada. Subjeknya ada. Nominanya bisa diverifikasi. Ketika dirujuk menjadi sumber, ia memenuhi syarat.
Masak iya kita menulisnya seperti ini. Saya bikin tulisan dimiringkan.Â