Bergerak karena berasal dari kesadaran ditambah pengetahuan dan konsepsi ibadah seorang pendidik.
Saya meyakini, jika kurikulum yang ada selama ini sudah baik. Tinggal, dalam konteks di kampus, teman-teman mahasiswa FKIP ini dikasih ilmu baru tentang dunia zaman sekarang.Â
Bahwa nanti anak didiknya bakalan seperti ini. Tidak sama seperti dulu. Sekarang ada Youtube di mana mereka bisa akses dan bahkan kasih komentar untuk bahan ajar gurunya.Â
Dikasih tahu psikologi generasi alpha itu seperti apa. Dan sebagainya dan sebagainya.
Kalau mau revolusioner, kita bicaranya kurikulum di kampus untuk mewujudkan guru yang diembel-embeli penggerak tadi. Ketimbang banyak bujet ke arah sini, lebih baik kasih alokasi ke perbaikan di kampus.Â
Apa yang diberikan kepada guru supaya jadi guru penggerak, dikasih saja sejak di kampus. Toh semuanya mau jadi guru.Â
Jadi, ketimbang repot sekarang guru penggerak yang dari generasinya saja ada yang Y, Z, dan milenial, lebih baik fokus ke mahasiswa.
Kasih semua lokakarya untuk guru penggerak itu kepada mereka di kampus. Injeksi semua ke dalam pesan di kurikulum. Pernbanyak lokakarya yang membuka pikiran dan gagasan mereka.Â
Perbanyak pelatihan public speaking, problem solving, menulis, dan lainnya. Jadi, empat tahun mereka kuliah, saat lulus, siap jadi guru penggerak.Â
Tidak kerja dua kali itu namanya. Bujet negara bisa diinfiltrasi ke situ.
Kalau demikian adanya, dampaknya luar biasa. Mahasiswa FKIP jelas punya cara pandang bahwa mereka usai lulus jadi guru, jadi guru penggerak, jadi guru motivator, jadi guru penulis, jadi guru seminaris, jadi guru problem solver, dan lainnya.Â