Ini tahun keempat saya diminta menjadi mentor ekstrakurikuler jurnalistik di Mahad Al Jamiah UIN Raden Intan Lampung. Semua mahasantri yang ikut kelas ekskul ini generasi Z. Rata-rata masih semester II dan IV di kampus UIN Raden Intan Lampung.
Mereka berasal dari beragam fakultas. Hanya dua sampai tiga orang yang kuliah di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, tempat saya pernah menjadi dosen luar biasa selama lima tahun.Â
Dimulai dari 2015 sampai dengan 2019. Setelah itu saya tak mengajar lagi.
Mestinya kelas ini ada putra dan putri. Namun, sejak awal dibuka, kebanyakan mahasiswi yang hadir. Yang putra hanya satu hingga dua kali.
Generasi ini punya antusiasme yang besar terhadap ilmu baru. Mata mereka berpendar-pendar kala saya menjelaskan jurnalisme.Â
Karena bacaan banyak, nutrisi pengetahuan yang saya limpahkan kepada mereka cukup banyak dengan kualitas yang hakulyakin baik.
Semua pengetahuan yang saya ketahui, saya berikan kepada mereka. Antusiasmenya memang luar biasa. Responsnya juga bagus. Pertanyaannya cukup bagus.
Kini tibalah saat praktik. Meski sudah dijelaskan secara mendetail, rata-rata memang masih lemah dalam praktik.Â
Mereka tahu mau menulis apa. Sudut pandang sudah ada. Namun, begitu pena mereka hendak digerakkan, lama sekali. Kadang juga kalimat awalnya tak beraturan.
Sebagian pernah menulis berita. Bahkan dalam jumlah banyak kala mahad mereka gelar festival pesantren se-Lampung akhir tahun 2022 yang lalu.Â
Akan tetapi, ya itu tadi. Narasi yang mereka bangun itu mentah. Antara ide dalam pikiran dan implementasi dalam tulisan tidak sinkron.
Kami kemudian adakan evaluasi. Saya bilang sama mereka. Ketidakmampuan atau kekurangmahiran mereka dalam menulis karena belum menyukai membaca.Â
Karena kurang membaca, kosakata yang menjadi rekaman di kepala minimalis sekali. Karena kurang membaca, mereka tidak punya contoh yang konkret dalam hal menulis.Â
Karena kurang membaca, diksinya miskin. Karena kurang membaca, kalau bicara kosakata yang dilontarkan tidak banyak.Â
Kalau kagum dengan penampilan atau sesuatu hal, paling kata yang paling banyak dipakai adalah "keren".
Keren banget ya. Wow, keren sekali. Dan keren-keren yang lain.Â
Kenapa keren ini yang banyak dipilih? Ya karena hanya keren itulah kosakata yang mereka tahu untuk menggambarkan sesuatu yang bagus, heboh, menarik, cerdas, dan lainnya.
Kejadian seperti ini juga saya alami saat mengisi pelatihan jurnalistik. Pesertanya rata-rata memang generasi Z. Saat menerima materi, antusiasmenya luar biasa.Â
Gestur mereka menunjukkan perhatian dengan tingkat kesaksamaan yang tinggi. Tanya jawab juga lancar.
Akan tetapi, begitu disuruh menulis, ya gitu deh. Lamban, acak-acakan, bingung dalam memulai, miskin dalam diksi, dan lainnya. Saya tanya dan mereka jawab juga sama bahwa mereka kurang suka membaca.
Dari evaluasi itu, saya kemudian ajak mahasantri kelas ekskul jurnalistik di UIN Raden Intan Lampung tadi untuk:
Kesatu, bawa buku ke mana-mana
Memaksakan membawa buku ke manapun tempat itu bagus. Buku mungkin hari itu tidak dibaca karena sibuk dan lainnya.Â
Namun, kita tak tahu kapan ada waktu luang sehingga buku yang ditenteng seharian itu bisa dibaca.
Saya menganjurkan mereka memaksakan diri membawa buku saat kuliah, ke masjid, ke kantin, jam makan siang, atau lainnya. Ini untuk menentukan titik ekuilibirium pertemuan antara waktu yang ada dan motivasi mereka untuk membaca.
Mungkin dari semingguan membawa buku, hanya setengah jam mereka fokus membaca. Itu lebih baik.Â
Itu langkah awal yang oke untuk membangun literasi yang kuat. Itu preambul yang memuaskan untuk menuju nukleus kecintaan terhadap membaca.
Kedua, buku apa saja
Saya meminta mereka bawa buku apa saja. Kalau fokus dengan kuliahnya, silakan bawa buku mata kuliah yang paling favorit.Â
Bahwa nanti membaca karena urusan akademik, itu tak masalah. Justru itu langkah yang bagus.Â
Sekali merengkuh dayung, dua sampai tiga pulau terlampaui. Dengan suka membaca buku teks atau ajar, dua sampai tiga keuntungan.Â
Ide dan gagasan bertambah. Materi perkuliahan dipahami dengan baik. Kosakata dalam rekaman pengetahuan juga bertambah.
Saya tegaskan, menekuni literasi itu tak serta merta mesti karya sastra semacam novel atau puisi, atau naskah drama, atau skenario film, atau karya fiksi lain. Literasi bisa dibangun dari bacaan yang kita sukai. Silakan baca apa saja.
Ketiga, sesekali sastra
Saya juga anjurkan gen Z untuk sesekali baca karya sastra klasik bisa bertema luar negeri atau dalam negeri. Bisa baca novel yang tebal atau novelet yang lebih ringan.
Bisa juga baca cerpen yang bertebaran di media sosial atau aplikasi di Playstore. Bacaan apa saja asal genre fiksi, silakan dibaca.Â
Kalau sejak awal kurang suka, tak apa. Dipaksa sesekali.Â
Jadikan membaca sastra itu wisata membaca. Anggap saja wisata membaca bahan selain buku yang kita senangi.
Baca sastra lazimnya membuat kosakata kita bertambah. Saya tahu kosakata "lebuh" di kumpulan cerpen jurnalis terkemuka Indonesia yang juga pakar kuliner Bondan Winarno.Â
Saya tahu ada "semenjana", "banal", "lindu", "musabab", dan lainnya dari majalah Tempo yang rajin saya baca saban Ahad versi maya.
Keempat, ceritakan ulang bacaan di forum kecil
Saya menganjurkan kepada gen Z untuk membacakan ringkasan bacaan mereka di forum kecil. Misalnya pas ngobrol santai di kafe, minta teman-teman meletakkan ponsel.Â
Kemudian diam dan dengar intisari bacaan kita semingguan ini. Bisa cerita isi satu buku, bisa isi cerpen, bisa isi novel, dan karya lainnya.
Dengan belajar mengutarakan lisan resume bacaan, itu kultur yang bagus. Kita terbiasa meramu intisari buku dengan gagasan sendiri.Â
Silakan kalau mau ditambah dengan interpretasi sendiri. Silakan dan itu diperbolehkan. Silakan juga kalau mau direkam dan dijadikan konten di media sosial.Â
Waktu kecil saat usia lima tahun saya sering diminta Papi menceritakan isi majalah Bobo yang saya baca. Rupanya itu dasar kita melakukan resensi atau menimbang isi bacaan.
Kepada mahasantri yang saya asuh di kelas, saya juga minta mereka begitu, kalau pas sore hari jelang magrib, kumpul beberapa orang kemudian sampaikan bacaan semingguan ini.Â
Singkat saja. Tidak mesti menceritakan dari preambul sampai khatimah. Tidak perlu mengulas bak prolog dan epilog. Ceritakan saja santai. Sepuluh menit lumayan.Â
Otak kita dari situ akan terbiasa merekam bacaan untuk masuk ke pengetahun. Nanti ilmu rekaman pengetahuan itu akan keluar begitu kita menceritakan ulang.
Kelima, gunakan media sosial untuk diari
Saya menganjurkan mahasantri untuk menulis diari mereka di media sosial. Bisa di dinding Facebook atau Instagram. Kebanyakan gen Z saya ini aktif di Instagram. Saya bilang, di Tiktok juga kalau mau tak apa. Silakan saja.
Intinya belajar menulis catatan harian ke media sosial. Kalau mau menulisnya di buku juga tak masalah. Kalau hanya di buku milik sendiri, hanya si empunya pengalaman yang menikmati. Akan tetapi, kalau itu dilempar ke media sosial, kita akan mendapat respons.
Itulah cara menggunakan media sosial dengan baik. Itulah cara menggunakan gawai dengan cerdas. Itulah simbiosis mutualisme antara media sosial dengan kemampuan menulis kita.
Saya ceritakan ada catatan harian yang begitu monumental. Judul buku itu Catatan Harian Anne Frank.Â
Anne Frank seorang gadis Yahudi yang sembunyi di sebuah loteng di sebuah rumah di Amsterdam bersama keluarganya. Kala itu zaman Perang Dunia II.Â
Anne Frank saban hari menulis diari. Usai perang, semua catatan harian itu dibukukan oleh Otto Frank, ayah Anne. Anne sendiri meninggal dunia di kamp khusus warga Yahudi yang dibikin Nazi Jerman.
Keenam, mulai mencoba menulis resensi
Menulis resensi ini sama seperti kita menceritakan isi buku. Tadi sudah dimulai dengan tradisi lisan.Â
Sekarang bisa dimulai dengan tradisi tulisan. Tulisan yang isinya menceritakan isi buku, konten film, atau sebuah pementasan disebut dengan resensi.
Punya kebiasaan menulis resensi itu bagus. Soal tips menulis resensi, insya Allah saya tuliskan beberapa waktu mendatang.
Intinya, gen Z mesti belajar menceritakan bacaan, tontonan, dan lainnya dalam tulisan. Biasakan merekam fragmen kehidupan dalam narasi. Bercerita saja dahulu.Â
Tidak usah dipaksakan mesti karya yang akan dimasukkan ke media massa. Tidak usah.Â
Tulis-tulis saja dahulu. Nanti juga bakal biasa dan makin terlatih. Para tetua kita dahulu bilang, alah bisa karena biasa.
Mudah-mudahan dengan ikhtiar ini, gen Z juga generasi lainnya punya kultur membaca dan menulis yang baik. Punya kultur literasi yang kuat.Â
Punya kebiasaan membaca utuh dan menceritakan ulang isinya. Terima kasih sudah mau membaca dengan tempo yang cukup lama. [Adian Saputra]
Foto pinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H