Kami kemudian adakan evaluasi. Saya bilang sama mereka. Ketidakmampuan atau kekurangmahiran mereka dalam menulis karena belum menyukai membaca.Â
Karena kurang membaca, kosakata yang menjadi rekaman di kepala minimalis sekali. Karena kurang membaca, mereka tidak punya contoh yang konkret dalam hal menulis.Â
Karena kurang membaca, diksinya miskin. Karena kurang membaca, kalau bicara kosakata yang dilontarkan tidak banyak.Â
Kalau kagum dengan penampilan atau sesuatu hal, paling kata yang paling banyak dipakai adalah "keren".
Keren banget ya. Wow, keren sekali. Dan keren-keren yang lain.Â
Kenapa keren ini yang banyak dipilih? Ya karena hanya keren itulah kosakata yang mereka tahu untuk menggambarkan sesuatu yang bagus, heboh, menarik, cerdas, dan lainnya.
Kejadian seperti ini juga saya alami saat mengisi pelatihan jurnalistik. Pesertanya rata-rata memang generasi Z. Saat menerima materi, antusiasmenya luar biasa.Â
Gestur mereka menunjukkan perhatian dengan tingkat kesaksamaan yang tinggi. Tanya jawab juga lancar.
Akan tetapi, begitu disuruh menulis, ya gitu deh. Lamban, acak-acakan, bingung dalam memulai, miskin dalam diksi, dan lainnya. Saya tanya dan mereka jawab juga sama bahwa mereka kurang suka membaca.
Dari evaluasi itu, saya kemudian ajak mahasantri kelas ekskul jurnalistik di UIN Raden Intan Lampung tadi untuk:
Kesatu, bawa buku ke mana-mana