Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Swasunting, Bikin Artikel Ramping dan Berdaging

19 Februari 2023   08:35 Diperbarui: 19 Februari 2023   21:57 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penulis| Dok Freepik.com/lookstudio

Menulis itu gampang, menyuntingnya yang bikin pening bukan kepalang. Menulis itu pekerjaan manusia. Mengedit itu pekerjaan para dewa.

Dari pengalaman selama ini, menulis itu memang gampang. Setidaknya masih ada gambaran bagaimana ia dilakukan. Selama masih ada ide di kepala, kita bisa menatahkan dalam narasi. 

Selama masih ada nutrisi pengetahuan di otak, ia bisa didedahkan lewat rangkaian kata. Selama masih ada pikiran, ia masih bisa didedahkan.

Apalagi dalam keseharian kita mendapati banyak pengalaman. Semua itu bahan bakar menulis yang sangat baik. Ditambah kesukaan membaca buku, juga makin membuat gagasan mudah dialirkan.

Pendek kata, menulis itu relatif lebih mudah. Memang butuh proses, tetapi rasanya dari sisi durasi tak butuh jenak yang lama.

Pekerjaan yang lebih sulit itu sejatinya mengedit atau menyunting. Kalau menyunting tulisan orang, itu juga masih enak. Sebab, kerja kita hanya itu. 

Begitu dapat naskah dari orang, kita mengeditnya. Satu per satu tulisan dibaca. 

Satu demi satu kalimat dipelototi. Satu demi satu alinea diperhatikan koherensinya. Itu masih mudah.

Satu pekerjaan yang rada malas kita kerjakan adalah menyunting tulisan sendiri. Karena kita sendiri yang melakukannya, acap dikenal swaediting atau swasunting. Kita mengedit sendiri tulisan kita.

Ini sama dan sebangun dengan aktivitas mengunggah tulisan di Kompasiana. Tidak ada editor yang akan merapikan tulisan kita. Kadang ada artikel masuk artikel utama dengan judul yang kurang satu huruf. Kadang ada tulisan jadi headline dengan beberapa kata yang tak baku.

Ilustrasi penulis dari campaign.com
Ilustrasi penulis dari campaign.com

Berurusan dengan naskah sendiri memang membutuhkan penyuntingan juga. Jangan malas melakukan penyuntingan ini. 

Ini berguna supaya tulisan kita makin enak dibaca. Enak dibaca itu syarat utama supaya orang paham apa yang mau kita sampaikan.

Kalau kita saja malas melakukan swasunting, bisa jadi banyak kekeliruan dalam artikel itu. Memang tidak fatal, tetapi yang mengganggu kan tidak enak. 

Ibarat habis makan, ada serpihan daging di sela gigi. Itu mesti dibersihkan supaya kita nyaman beraktivitas.

Swasunting ini penting dilakukan. Catatan utama tentu saja membikin kalimat kita menjadi lebih ramping. Perihal menulis ini pernah saya ulas di artikel berjudul Menulis KISS Supaya Artikel Necis dan Atletis.

Melakukan penyuntingan tentu mesti punya basis pengetahuan juga. Setidaknya kita sudah punya basis pemahaman kebahasaan yang baik. Termasuk juga bagaimana membuat artikel yang enak dibaca. 

Ukuran paling dasar itu, kita yang menulis bisa memahami logika di dalamnya. Kan repot kalau si empunya tulisan juga pening usai membaca tulisan sendiri.

Apa saja kira-kira yang mesti dilakukan untuk mengoreksi tulisan ini sendiri?

Kesatu, tata kalimat lebih ramping

Merujuk ke artikel soal KISS tadi, cobalah tata kalimat supaya tidak kepanjangan. Upayakan dalam satu kalimat tak lebih dari 14 kata. 

Semakin ringkas semakin bagus. Percayalah. Kalimat yang lebih ringkas lebih mudah dipahami. 

Kalimat yang berpanjang kalam makin sulit dipahami. Apalagi kalimat yang napas sudah habis, tulisan belum selesai dibaca.

Kalau kita tipikal yang suka berpanjang kata dalam kalimat, dari sekarang diubah. Mulailah mengukir kalimat supaya makin ramping. 

Kalau ramping, enak dibaca dan mudah dipahami. Tulisan kita barangkali tak bagus-bagus amat. Namun, jika ditulis dengan ringkas, masih mudah diterima.

Kedua, cermati kesalahan penulisan kata

Typo yang kebanyakan sangat mengganggu. Sedikit juga mengganggu sih. Tapi setidaknya kita upayakan bisa memaksimalkan pengoreksian ini. 

Jangan malas membaca lagi meski memang tak asyik edit tulisan sendiri. Mestinya ada orang khusus yang melakukan. Akan tetapi, karena ini untuk kebutuhan sendiri, swasuntinglah.

Semua tulisan dibaca lagi dari atas sampai bawah. Eks Pemred Media Indonesia Saur Hutabarat dalam sebuah pelatihan penyuntingan yang saya ikuti bilang, read the whole, edit line by line.

Baca keseluruhan dengan saksama. Jika ada yang masih keliru, perbaiki. Kalau sudah yakin semua oke, barulah swasunting kelar.

Ketiga, memasukkan diksi baru

Tulisan yang baik juga mengedukasi pembaca. Karena ini soal bahasa, ada baiknya membuka kamus. Kalau ada satu kata yang berulang, cobalah cari pengganti. 

Jika ada kata baru menambah perbendaharaan, silakan dientri. Saya suka membaca-baca kamus bahasa kita. Kalau ada kata yang oke, silakan dipakai.

Saya juga baru tahu ada sinonim dari stunting, yakni tengkes. Maknanya sama, yakni gagal tumbuh kembang. Jika itu mau dipakai, silakan. Kalau menulis soal gempa Turki-Suriah, silakan selang-seling dengan lindu.

Keempat, SPOK sebagai rujukan

Guru bahasa Indonesia kita sejak SD sering menerakan soal SPOK. Ini pakem baku kala menulis. Subjek, predikat, objek, keterangan disingkat SPOK. 

Mau merujuk baku dengan ini juga boleh. Sebab, ini menuntun kita rapi dalam menata kalimat.

Kalaupun mau lebih lentur, juga silakan. Mungkin ada di antara kita yang punya kelenturan dalam menata kalimat. Selama masih bisa dipahami dan enak dibaca, silakan saja. 

Bahasa itu terkadang bergantung juga pada citarasa. Bagaimana enaknya saja. Yang penting, tulisan mudah dipahami dan enak dibaca.

Kelima, atur paragraf

Umumnya satu alinea itu mengandung satu pokok pikiran utama. Guru bahasa Indonesia kita sejak SD mengajarkan itu. Upayakan satu paragraf itu adalah satu pokok pikiran yang diutamakan.

Kadang dalam penulisan untuk media konvensional, satu alinea bisa sampai 3-4 kalimat. Untuk media daring, semacam Kompasiana, mungkin bisa dilenturkan. 

Maksudnya, karena dibaca di gawai, tampilan paragraf mesti enak kelihatan. Maka itu, bisa dibuat 2-3 kalimat saja. Itu pun dengan catatan kalimat sudah dibikin ramping. 

Tampilan tulisan di media daring lewat gawai memang tidak selebar di layar komputer. Karena itulah kita menyikapinya dengan mengatur alinea.

Keenam, masukkan tambahan informasi

Supaya tulisan kita berdaging, informasi di dalamnya mesti sarat dan padat. Kita berupaya menjadikan tulisan itu edukasi untuk pembaca. 

Selain dari ide dasar, kita bisa menambahkan dengan referensi lain. Mungkin dari situs lain, bisa jadi dari hasil survei, bisa juga dari buku. Teori baku yang ada juga bisa disajikan.

Intinya sih, kita ingin memberikan perspektif baru kepada pembaca. Ini berguna agar tulisan kita lebih berdaging. Ada pengetahuan baru yang bisa diperoleh dari artikel yang ditulis. Ada hal baru yang teringat di benak pembaca usai dibaca.

Swasunting model ini pasti memberikan efek baik. Sudahlah kalimatnya ramping, isinya daging semua. 

Gelambir lemaknya sedikit. Semua dagingnya akan memberikan kita citarasa yang enak. 

Semua nutrisi daging dalam tulisannya diserap otak dan pikiran kita dengan baik. Tanpa kita sadari, literasi yang kita sampaikan tercapai dengan baik. 

Tulisan ini mampu mencerahkan, syukur-syukur menggerakkan. Yuk ah makan daging, eh swasunting. [Adian Saputra]

Gambar pinjam dari sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun