Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Ghost Writer Bisa Disamakan dengan Joki?

18 Februari 2023   18:14 Diperbarui: 18 Februari 2023   18:15 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari amaldoft.files.wordpress.com

Ramai soal joki ini. Kompas juga menurunkan laporan soal itu. Saya sudah membacanya karena berlangganan Kompas.id bulan lalu. Laporan itu menarik sekali. Di dunia perguruan tinggi ternyata demikian.

Sudah banyak juga penulis yang mendedahkan soal ini di blog Kompasiana. Saya membacanya satu-satu.

Saya kemudian teringat satu jenis pekerjaan penulis yang nama si empunya tulisan tak disebut. Orang lazim sebut itu penulis bayangan atau penulis hantu. Istilah populernya ghost writer. 

Ini pekerjaan menuliskan ide orang ke dalam artikel, buku, dan karya lain atas nama si pengorder. Biasanya orang-orang yang mengorder ini tokoh terkenal atau pejabat publik.

Bisa jadi orang itu punya ide dasar, tapi ia tak cakap untuk menuliskan sendiri. Bisa jadi juga ia sama sekali tak punya ide dasar . Hanya punya secuplik keinginan punya karya tapi tak punya kemampuan untuk menarasikannya.

Di titik inilah orang butuh penulis hantu atau penulis bayangan. Saya tak paham berapa besar honor para penulis bayangan ini. Kita anggap saja besar. Misalnya untuk menuliskan buku.

Lazimnya buku yang ditulis ini tentang tema tertentu. Misalnya ada caleg mau menulis buku. 

Ia hendak mendedahkan soal kultur politik lokal. Ia hanya punya ide itu saja sebagai standar. Selebihnya ia tak punya nutrisi pengetahuan lain.

Oleh sebab itu, ia butuh penulis bayangan. Maka, dibayarlah seseorang untuk menuliskan buku soal itu. 

Tentu nama si penulis asli tidak ditulis. Yang tertera di sampul muka buku adalah nama caleg atau politikus itu.

Ada pula politikus yang ingin dibuatkan artikel untuk di media massa. Saya ingat berbilang tahun yang lampau, ada politikus menulis opini di koran nasional. 

Parahnya, tulisan itu ternyata menjiplak tulisan seorang penulis lain di media yang lain. Entah politikus ini yang tidak saksama atau ghost writer-nya yang enggak mau kerja keras. Walhasil, sempat ramai juga kala itu.

Kebanyakan setahu saya, banyak politikus meminta jasa seseorang untuk menulis di media massa. Ia ingin publik kenal dengan namanya. Menjelang Ramadan seperti ini, ada saja yang demikian.

Saat masa koran berjaya, ada pula yang demikian. Politikus meminta dituliskan soal isu tertentu kepada penulis bayangan. 

Orang koran tahunya yang menulis itu ya si politikus itu. Meski demikian, pasti ada saja yang membaca dengan saksama kalau karya itu tak mungkin lahir dari isi otak seorang politikus. Itu pasti dibikinkan tenaga ahli atau penulis ahlinya.

Sekarang mari kita elaborasi. Apakah penulis bayangan ini sama dengan joki? Bagaimana hukumnya jika memang penulis bayangan ini joki. 

Sebab, secara kadar pekerjaan, ia sama seperti joki. Tidak mungkin kan orang cerita kalau karya ilmiah itu hasil perjokian? Pasti juga nama joki tidak mau diketahui. Apalagi kalau karena ihwal karya itu menjadi masalah di kemudian hari.

Apa beda dengan penulis bayangan? Secara prinsip kerjaan, bagi saya sama saja. Ini pekerjaan jasa membuatkan karya orang dengan hasil olah pikiran sendiri. Ia bekerja memang disuruh orang. Ia terima duit hasil pekerjaannya itu.

Pendek kata, bagi saya, secara prinsip pekerjaan, dia sama. Sama-sama menjoki juga. Namun, jika dilihat dari pengalaman beberapa kenalan selama ini, penulis bayangan jarang masuk ke ranah akademik.

Dugaan saya, hanya sedikit mereka yang bekerja sebagai penulis bayangan yang juga menggarap skripsi, tesis, disertasi, dan tulisan ilmiah ke jurnal ketimbang buku dan artikel untuk media massa.

Dalam redaksi lain, kita bisa bilang, penulis bayangan melulu bekerja pada ranah karya untuk media massa. Persoalannya sekarang, apakah karya yang demikian dalam konteks jurnalisme, dibenarkan?

Kalau ukuran media massa atau karya jurnalistik itu simpel kok. Kejujuran itu yang penting. 

Orang media dan pembaca mesti tahu itu tulisan siapa. Kalau memang ia dituliskan oleh orang lain, media massa juga pasti lambat laun paham kalau karya ini hasil penulis bayangan. 

Kalau memang demikian, manajemen media massa dipersilakan tidak memuat karya orang itu lagi.

Opini di media massa itu karya ilmiah juga. Ia ditulis berdasar fakta tertentu atau kejadian tertentu yang menjadi pembicaran banyak orang. 

Dari situ, kemudian si penulis menuangkan gagasan terhadap persoalan itu. Ia bisa pro, bisa juga kontra. 

Ia juga bisa mendedahkan solusi atas persoalan itu. Atau paling tidak memberikan paparan. 

Kadang diberikan masukan dari kutipan buku atau hasil riset lembaga atau seseorang yang ahli. Karena itulah, opini di media massa juga karya ilmiah. 

Lengkapnya karya ilmiah populer. Kenapa ada populernya? Sebab, karya itu ada di ruang publik media massa. Semua orang bisa membaca secara terbuka.

Ini sedikit berbeda dengan karya ilmiah yang dihasilkan untuk ruang akademik an sich. Misalnya jurnal, skripsi, tesis, dan disertasi. Ia hanya diakses sebagian kecil orang. Tak banyak di antara kita yang bisa dengan mudah mengakses karya ilmiah tadi. 

Akan tetapi, kalau karya ilmiah populer berupa opini, resensi buku, resensi film, dan lainnya, kita lebih mudah memperolehnya. Itulah sebab mengapa karya di media massa ini dalam hal opini juga masuk karya ilmiah populer. Semoga sampai sini menjadi jelas.

Kalau kita mau kembali ke asasinya kejujuran ini, ya memang semuanya mesti terang benderang. Kalau orang tadi tak mampu menulis, ya tak usah memaksakan diri menulis. Apalagi sampai punya tulisan bagus kemudian diunggah ke media massa.

Politikus yang punya keinginan semacam ini mestinya mencontoh politikus tempo dulu. Hampir semua pendiri bangsa ini punya kultur membaca dan menulis yang kuat. Dengan demikian, mereka memang punya kemampuan menulis yang piawai. 

Sukarno, Hatta, Natsir, Hamka, Syahrir, dan lainnya memang terbiasa bertengkar gagasan. Perihal ini nantilah saya tulis lebih mendalam di kesempatan lain.

Mungkin penjelasan ini menimbulkan pro kontra. Ada yang selama ini menjadi penulis bayangan barangkali tak terima disamakan dengan joki. 

Ya tidak mengapa. Saya pun tak hendak menjustifikasi demikian. Yang diuraikan di sini adalah kesamaan-kesamaan sehingga ada tipikal mirip antara joki dan penulis bayangan.

Andaipun pertengkaran intelektual ini tak berujung apakah sama antara keduanya, kita masukkan saja ke wilayah abu-abu. Persoalan kemudian profesi penulis bayangan ini menjadi polemik mungkin akan terus menjadi diskursus sampai khatimah dunia ini.

Kalau merujuk istilah ghost writer sih sebetulnya tidak usah muncul saja. Dalam artian, biarlah orang yang pernah bekerja sama dengan kita saja yang tahu.

Namanya saja hantu, ya harfiahnya tidak muncul. Cukup berdiam saja dan memainkan peran sebagaimana hantu pada umumnya. [Adian Saputra]

Gambar pinjam dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun