Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Sambo, Media Massa, dan Referensi Kedua

14 Februari 2023   08:30 Diperbarui: 14 Februari 2023   19:27 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ferdy Sambo sudah dituntut hukuman seumur hidup. Sejak awal namanya muncul, media massa di Indonesia bahkan luar negeri sudah sepakat menyebutnya sebagai Sambo sebagai referensi kedua. Referensi kedua ini istilah untuk menuliskan nama seseorang pada pemberitaan media massa.

Karena media massa itu lekat dengan keekonomisan kata, tak mungkin selalu menulis nama secara lengkap. Supaya ringkas dan simpel, ditulislah Sambo. 

Jika media massa menulis nama ini, itu sudah pasti Sambo yang sedang jadi topik pembicaraan banyak orang, bukan Sambo yang lain. Alih-alih Sambo, malah ketulis Rambo kan repot.

Referensi kedua ini biasanya bergantung pada nama orang itu sendiri. Ia biasa disapa seperti apa. 

Kalau keseharian memang banyak yang panggil Sambo, nama itulah yang digunakan sebagai referensi kedua. Istilah referensi kedua ini saya baca di tulisannya jurnalis mantan editor majalah Pantau Andreas Harsono.

Namun, penulisan referensi kedua nama orang baik di Indonesia maupun luar negeri berbeda-beda. Memang paling enak bertanya langsung kepada narasumber. Biasanya ia disapa apa. Sebab, di Indonesia beda dengan Amerika Serikat, misalnya.

Amerika Serikat pernah punya dua presiden dengan nama yang sama: Bush. Depannya George juga. Tapi ada yang senior, ada yang junior. 

Tak mungkin di sana media massa tulis Presiden George. Pastilah ditulis Presiden Bush. Presiden Bush yang junior terkenal karena bikin perang di Irak.

Amerika Serikat juga pernah punya presiden dengan nama lengkap Barack Obama. Obama kita kenal. Dia pernah tinggal beberapa lama di Indonesia. Publik Indonesia heboh benar kala Obama ke Indonesia dan teriakkan "sate".

Di Indonesia, penyebutan referensi kedua nama orang tak sama. Media menulis Sambo, tapi lebih klop menulis Putri ketimbang Candrawati, istrinya Sambo yang juga ketiban kasus yang sama. 

Mengapa demikian? Saya menduga ini soal rasa dan kebiasaan. Karena Putri memang akrab disapa Putri, begitulah ia diterakan di media massa.

Ada beberapa suku di Indonesia yang khas dengan nama marga. Tapanuli misalnya. Ada Siregar, Manurung, Pandjaitan, Nasution, dan sebagainya. Di lingkungan rumah kita juga barangkali ada yang seperti ini. 

Saya hakulyakin kita menyapa dengan nama marga. Ada jenderal besar bintang lima namanya Abdul Haris Nasution. Semua media massa dan orang Indonesia pasti menyebut dan menuliskan dengan Jenderal Nasution. Apa berani kita ganti dengan menuliskan Jenderal Abdul?

Sama juga dengan Sambo. Ayahnya, pensiunan jenderal juga, Pieter Sambo. Maka, Sambo ini jadi nama keluarga. Karena lekat, jadilah ia referensi kedua. 

Karena itu dari awal sampai vonis, kita kenal Sambo. Mungkin juga waktu sebelum ada kasus, ada wartawan yang tanya ke beliau. Kalau nama yang biasa disapa untuk pergaulan sehari-hari, Ferdy atau Sambo. Mungkin beliau waktu itu bilang, "tulis saja Sambo." Jadilah sampai sekarang kita kenal Sambo.

Kasus penamaan seperti Sambo ini sebetulnya ya lazim saja kalau di negara luar. Negeri Ndoro Tuan kita, Belanda, juga demikian. Tahun 1988, waktu Negeri Tulip juara Piala Eropa di Jerman (Barat), negeri yang ditempati Kompasianer Henni Triana Oberst, nama pemain kita kenal nama keluarga mereka.

Ada striker mematikan namanya Van Basten dengan nama depan Marco. Ada gelandang kuat plus kapten tim namanya Gullit dengan nama depan Ruud. 

Ada juga kiper jago tepis tendangan penalti namanya Van Breukelen dengan nama depan Hans. Ada gelandang serbabisa namanya Rijkaard dengan nama depan Frank.

Saya hafal kesebelas nama pemain Belanda tahun 1988 itu padahal kala itu masih usia 9 tahun. Ada Berry Van Aerle, Adri Van Tiggelen, Gerald Vanenburg, Ronald Koeman, Erwin Koeman, Arnold Muhren, Jan Wouters, dan lainnya.

Referensi kedua nama Sambo ini juga akrab di Indonesia, tapi masih lebih banyak yang pakai nama depan. Kompasianer Irwan Rinaldi Sikumbang, misalnya. 

Hakulyakin kalau ke luar negeri ia pasti dipanggil Mr Sikumbang. Sementara sesama Kompasianer lebih nyaman menyapanya Irwan. Tapi jika ia ditulis menjadi narasumber berita, alangkah banyak nama orang berawalan Irwan.

Supaya ada kekhasan, ia bisa ditulis dengan Sikumbang. Mohon izin kepada Bang Irwan namanya saya catut sebagai contoh, hahahaha.

Kompasianer yang saban hari bikin puisi Itha Abimanyu juga demikian. Referensi kedua namanya pasti yang pertama karena lebih familier. Namun, kalau Abimanyu itu nama keluarga yang ternisbatkan setelah Itha, media massa juga bisa tulis dengan Abimanyu.

Seingat saya Abimanyu ini tokoh pewayangan. Ia anak dari Arjuna. 

Dalam konteks fiksi, kadang demikian. Maknanya, Itha Abimanyu ini bisa saja nama pena. Orang bergelut di fiksi lazim pakai nama pena.

Saya punya teman, Sri Rahayu namanya. Sejak awal menulis, baik karya jurnalistik maupun fiksi, ia pakai nama pena, Naqiyyah Syam. Saking terkenalnya nama itu, nyaris tiada tahu nama aslinya.

Ini sama seperti pengarang kenamaan Indonesia Asma Nadia. Nama lengkapnya Asmarani Rosalba. Tapi saya yakin tak semua tahu nama asli doi. Asma adalah adik kandung penulis kenamaan Indonesia yang juga pendiri Forum Lingkar Pena (FLP): Helvy Tiana Rosa.

Tapi di Indonesia memang masih lazim menggunakan nama depan untuk referensi kedua. Misalnya, Tonny Syiariel. Kita pasti menyapanya Tonny alih-alih Syiariel. Namun, karena yang bersangkutan acap keluar negeri, referensi kedua dia pasti Syiariel.

Saya juga menduga kalau The Best Teacher Kompasiana Award 2022 Akbar Pitopang keluar negeri, referensi keduanya Pitopang alih-alih Akbar. 

Unsur kata kedua dari namanya ini unik. Saya memprediksi ini semacam nama keluarga atau nama marga. Biarlah nanti orangnya yang menjelaskan jika ia membaca artikel ini, hehehe.

Dalam kasus Sambo, referensi kedua juga unik untuk almarhum Brigadir Joshua atau Yoshua. Saya senang lihat acara Aiman soal Sambo ini. 

Aiman kalau baca Yoshua ini makhrojul hurufnya fasih benar. Yoshua ia baca seolah-olah huruf "syin" ketika melafalkan "sh".

Padahal nama depan almarhum ini Nofriansyah. Lengkapnya Nofriansyah Yoshua Hutabarat. 

Sejak awal kasus muncul, kita juga akrab dengan nama Brigadir J atau Brigadir Yoshua. Ini referensi kedua yang dipilih media massa untuk menyebut korban pembunuhan Bharada Eliezer.

Nama ini juga menarik jika dilihat referensi kedua yang dipilih media massa. Eksekutor pembunuhan Yoshua ini memiliki nama lengkap Richard Eliezer Pudihang Lumiu. 

Ia kelahiran Manado, Sulawesi Utara, 24 tahun yang lalu, tepatnya 14 Mei 1998. Ia lahir jelang Suharto jatuh.

Eliezer dipilih sebagai penyebutan namanya ketimbang menyematkan Richard atau Lumiu sebagai mungkin nama marga atau keluarga sebagaimana Sambo disebut.

Pendeknya, di kita, memang belum ada kesepakatan referensi kedua untuk nama kita itu apa. Kebanyakan sih nama depan. 

Saya misalnya, Adian Saputra. Sejak dahulu ya referensi keduanya Adian. Entah kalau saya tiba-tiba dapat beasiswa Nieman Fellowship ke Harvard University di Amerika sana, referensi kedua saya pasti Saputra. 

Setidaknya kalau disapa dosen di sana ketika kuliah mungkin ketemu Bill Kovach saya disapa Saputra. Atas narasi ini saya aminkan saja.

Buat Anda yang mungkin bakal jadi tokoh publik atau media darling, silakan pikirkan referensi keduanya apa. Mau pakai nama depan, pakai nama tengah, atau pakai nama marga atau keluarga yang tertera di belakang. Buat Kompasianer asal Banda Aceh Masykur Mahmud juga mesti pikirkan matang-matang referensi kedua. 

Siapa tahu kalau beasiswa ke negara Skandinavia mulus, bisa jadi media darling di sana. Biarkan kalau wartawan di sana sapa dengan Tuan Mahmud. Hmmm, unik juga dan saya agak geli-geli gimana gitu dengarnya, hahaha. Terima kasih sudah membaca artikel ini dengan saksama. [Adian Saputra]

Gambar pinjam dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun