Pekerja Media. Beberapa narasi dalam buku Citra ini nanti akan saya kutip. Akan tetapi, sebagian besar tulisan berdasar pengalaman di lapangan, baik yang saya alami maupun teman buruh media massa lainnya.
Judul tulisan ini mirip dengan sebuah buku yang ditulis oleh Citra Maudy Mahanani. Judul buku Citra adalah Yang Tidak Banyak Dikatakan soalSaya ingin mendedahkan ini satu per satu sehingga menjadi jelas dan terang. Termasuk mengapa pilihan saya ada pada diksi buruh sebagai sinonim pekerja atau karyawan.
Kesatu, pekerja media massa itu buruh juga
Ada beberapa wartawan yang tidak suka kalau profesinya disamakan dengan buruh. Dalam benak mereka, buruh itu ya pekerja kasar.Â
Misalnya kuli panggul di pelabuhan, buruk di pabrik garmen, buruk di pabrik makanan, dan lainnya. Intisari dalam pikiran teman itu barangkali semua buruh adalah konteks pekerja fisik.
Bagi saya ringkas saja. Semua orang yang masih kerja sama orang dan digaji, itu buruh. Buruh adalah pekerja. Meski upah atau gajinya besar, ditambah insentif ini dan itu, selama masih bekerja, dia buruh.
Pedagang kecil, seperti pengusaha martabak yang ditulis kawan Kompasianer Masykur Mahmud barusan, bukan buruh. Kok demikian? Karena ia punya usaha dengan modal sendiri dan punya independensi tinggi.Â
Dia mau kerja, dia mau malas, dia mau libur, itu urusan dia. Orang tidak gajian mah bebas, hahaha.
Maka itu, pekerja media massa itu buruh juga. Pekerja media massa dalam konteks jurnalisma juga bervariasi.Â
Orang yang kerjaannya paling depan namanya reporter. Reporter itu aslinya dalam bahasa Inggris. Ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia, jadilah wartawan.Â
Reporter atau wartawan adalah orang yang mencari, menulis, melaporkan peristiwa menjadi berita.Â