Saya punya kawan seorang kontributor media daring nasional. Ia juga cerita yang sama. Agak lumayan kalau ada berita yang viral banget.Â
Misalnya waktu kejadian Syekh Ali Jaber kena tusuk waktu ceramah di sebuah masjid di Lampung. Oleh teman ini, ditulis berita itu dengan lengkap. Ia sampai bertemu dengan Syekh Ali Jaber dan mewawancarainya.Â
Karena berita itu yang baca sampai ratusan ribu klik, kawan ini dapat insentif jutaan rupiah. Nayamul aguj ay (baca balik).
Keempat, waktu kerja 24 jam
Yang dimaksud 24 jam tentu tidak penuh sehari semalam mengetik berita. Musababnya, yang namanya berita, apalagi untuk wartawan media nasional, tidak tahu kapan terjadinya.Â
Berita bisa terjadi sewaktu-waktu. Informasi yang masuk ke pesan ponsel kita bisa masuk kapan saja dan oleh siapa saja.Â
Karena wartawan, saban hari pasti dapat menerima banyak informasi. Tinggal dipilih saja mana yang mau dieksekusi menjadi berita.
Kadang pagi-pagi sudah muncul di status WhatsApp kawan, kejadian pencurian motor. Ada juga yang mengabari penemuan bayi. Ada juga yang kasih kabar soal rencana demo pedagang.Â
Kadang tengah malam ada perintah untuk cek kebakaran di sebuah pasar tradisional. Eh pas ke sana hoaks. Dan banyak lagi yang seperti itu.Â
Itu yang saya maksud, kerja menjadi pekerja media itu tidak kenal waktu. Meski sudah di rumah, ponsel masih saja sering dicek. Kalau-kalau ada informasi menarik yang bisa diwartakan.
Yang runyam kalau mendekati Lebaran. Masa pas puasa itu sungguh cobaan berat untuk kami yang bekerja di lapangan. Sudahlah menahan lapar dan dahaga, masih pula keliling kesana-kemari mencari berita.Â