Tanggal 9 Februari kini dirayakan saban tahun sebagai Hari Pers Nasional. Hari Pers Nasional secara legalitas diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 5 tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985.
Sejarah Hari Pers Nasional juga tak lepas kaitannya dengan organisasi PWI yang terbentuk pada 9 Februari 1946. Jadi, ringkas kata, HUT PWI menandai Hari Pers Nasional.
PWI adalah organisasi profesi pers. Selama masa Orde Baru, memang tak ada organisasi profesi pers lain selain PWI. Itu juga disebabkan kekuasaan Orde Baru yang demikian kuat yang asasinya mengekang kemerdekaan pers.
Media massa kala itu benar-benar khawatir kalau-kalau berita yang mereka naik siarkan berkaitan dengan Cendana dan kroni-kroninya.Â
Unjuk rasa besar yang memicu tragedi Malari saja berujung pada beredel media massa. Salah satunya yang tak terbit-terbit lagi koran Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis.
Era Suharto memang menjadi masa suram di mana kebebasan pers sangat terkungkung. Organisasi profesi pers seperti PWI kala itu juga mau tak mau dipaksa oleh keadaan.
Tahun 1994, usai tiga media massa diberedel pemerintah, yakni Detik, Tempo, dan Editor, lahirlah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam deklrasi Sirnagalih di Bogor tepatnya 7 Agustus 1994.Â
Masa itu AJI berjalan dalam diam. Senyap bergerak. Wartawan yang ketahuan ikutan AJI juga diberhentikan oleh media massanya.
AJI lahir dari embrio perlawanan untuk menuntut kebebasan pers, independensi, dan kesejahteraan jurnalis. Namun, karena Orde Baru masih galak-galaknya, aktivitas lembaga ini berada di bawan tanah alias sembunyi-sembunyi.
Usai reformasi, muncul banyak lembaga pers atau organisasi profesi pers. Kalangan jurnalis televisi membentuk Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia. Kini, setahu saya, di Dewan Pers, ada tiga organisasi profesi pers yang diakui negara, yakni PWI, AJI, dan IJTI.