Saya sudah membaca sejak siang, ada banyak kawan yang cuti, sedangkan halaman yang menjadi tanggung jawab mereka belum dikerjakan. Usai memastikan pekerjaan saya selesai, saya kemudian ambil alih pekerjaan kawan yang cuti.Â
Halaman mereka saya bereskan. Tidak hanya satu, dua, bahkan tiga.
Sejak awal saya tidak memedulikan soal ini. Artinya, saya enjoy saja mengerjakan. Toh sama saja yang dikerjakan, masih seputar penyuntingan juga.
Karena halaman sudah kelar semua, begitu pemimpin redaksi datang, dia mengecek halaman apa saja yang belum dikerjakan.Â
Karena ia juga tahu bahwa banyak yang cuti, ia kemudian memanggil saya dan meminta saya mengerjakan halaman yang belum.
Saya jawab, sudah saya kerjakan sejak tadi dan semua halaman beres. Dia terkejut, mungkin juga senang karena saya inisiatif. Itu saya lakukan beberapa kali.
Waktu diminta menjadi penanggung jawab online, saya pun demikian. Malam takbiran pun karena memang tugas ya tetap dikerjakan dari kantor.Â
Jadi, saat malam Lebaran saya tidak ada di rumah dan berkutat mengisi berita online, itu nyaris rutin. Padahal, bisa saja saya ambil cuti atau meminta teman yang tidak merayakan Lebaran untuk menggantikan.Â
Namun, karena merasa tugas itu adalah pekerjaan saya, tetap dilakukan dengan tanggung jawab. Apalagi bagi seorang jurnalis, ya memang tidak ada jam kerja yang saklek.
Usai pindah ke sebuah media online, kelakuan saya tidak berubah. Jika ada instruksi dari pemimpin redaksi membuat berita yang banyak dari sumber yang terbatas, saya lakukan dengan baik.Â
Bahkan, suatu waktu pimpinan kaget karena bahan rilis soal survei politik lokal, sudah saya babat habis. Delapan artikel saya kerjakan dari sumber survei jajak pendapat tentang politik lokal itu.