Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

15 Tahun Kematian Suharto, Menakar Demokrasi Kita Saat Ini

27 Januari 2023   07:29 Diperbarui: 27 Januari 2023   07:52 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua buku tentang Suharto. Koleksi Pribadi

Saya lahir 27 Januari 1979. Hari ini tepat usia saya 44 tahun. Angka yang bagus, bukan?

Karena menyukai sejarah, sejak SD saya mencari tokoh yang hari lahir atau tanggal wafatnya sama dengan saya. Saya juga acap mencari peristiwa besar yang terjadi pada 27 Januari.

Mendiang Presiden Suharto ternyata punya kesamaan dengan saya. Tentu bukan untuk tanggal kelahiran. Orang kuat Orde Baru itu wafat persis di tanggal yang sama dengan tanggal kelahiran saya.

Tanggal 27 Januari 2008 Suharto wafat di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Orang terakhir yang mengantarnya ke rumah Cendana adalah sopir ambulans rumah sakit itu bernama Sabarto Tarigan. Nama ini saya ketahui pada sebuah feature di Koran Tempo tepat sehari setelah Suharto wafat.

Koran Tempo dan koran-koran besar nasional dan daerah kala itu membuat edisi khusus soal kematian Suharto dan rekam jejak orang kuat Orde Baru itu. 

Oh iya, jika mencari tokoh yang tanggal lahirnya sama dengan saya, salah satunya mendiang pelukis kenamaan Indonesia, Basuki Abdullah.

Saya hendak mendedahkan soal lima belas tahun usai kematian Suharto ini. Jejak jurnalisme soal kematian Suharto bisa kita sigi dalam beberapa buku yang terbit di Indonesia. 

Dua buku itu dan kebetulan saya koleksi adalah Pak Harto The Untold Stories yang diterbitkan Gramedia serta buku Suharto Setelah Sang Jenderal Besar Pergi yang diterbitkan KPG hasil karya jurnalis dan penulis Tempo.

Dua buku itu cukup menarik merangkum ujaran orang-orang yang berkaitan erat dengan Suharto semasa The Smiling General itu hidup dan berkuasa.

Yang menarik tentu saja bagaimana perkembangan demokrasi kita usai Suharto wafat. Secara umum kita ketahui, kehidupan demokrasi kita menjadi lebih bebas sekarang. 

Saat Habibie menjadi presiden, keran demokrasi yang selama 32 tahun beku menjadi cair dan mengalir deras. Partai banyak bermunculan. Pemilu 1999 sering dikatakan orang berjalan paling demokratis menyamai pemilu tahun 1955.

Kebebasan pers juga demikian. Tidak ada lagi yang namanya surat izin usaha penerbitan atau SIUP yang semasa Orde Baru begitu sulit didapat. 

Andai didapat pun, media massa mesti tengok kiri dan kanan untuk menulis sesuatu hal. Khawatir terkait dengan Suharto dan kroni-kroninya.

Jenderal Hoegeng saja, kepala Polri yang bersih itu, juga senyap kala Suharto berkuasa. Demikian juga tokoh kritis lainnya.

Perbedaan signifikan antara kekuasaan Suharto dan sekarang tentu saja dari sisi demokrasi dan kebebasan berpendapat. Meski sekarang kita juga terkungkung dengan UU ITE dan KUHP, setidaknya tidak semencekam masa Suharto. 

Kala itu, tak bisa kita benar-benar menyuarakan kritik kepada pemerintah. Bisa habis karier bahkan mungkin juga umur kala Suharto sedang kuat-kuatnya.

Namun, esensi demokrasi tentu saja mengimbas pada kesejahteraan masyarakat. Orang boleh saja bicara bebas dan mengkritik kekuasaan. 

Namun, demokrasi yang baik tentu saja menjamin kebebasan orang untuk memperoleh pemenuhan kehidupannya. Termasuk akses ekonomi.

Tentu tidak sebatas kebutuhan makan saja, melainkan lebih daripada itu. Kebutuhan kita sekarang tidak lagi sebatas pangan, sandang, dan papan, melainkan lebih daripada itu. 

Ada kebutuhan akses internet untuk kita bekerja dan meningkatkan kemampuan diri. Juga untuk membantu anak-anak kita mencari sumber referensi demi meningkatkan kemampuan akademiknya.

Yang mesti kita jaga dalam demokrasi sekarang adalah esensinya. Demokrasi memang membebaskan orang untuk bicara apa saja sepanjang itu ada dasarnya. 

Kritik boleh saja dilontarkan dalam media massa maupun media sosial asal kebenarannya bisa diverifikasi dan tepercaya.

Itulah esensi demokrasi yang mesti kita jaga. Kita tentu berharap tidak ada lagi kasus di mana orang dipenjarakan karena mengkritik. Menghina dalam konteks pribadi dan fisik mungkin bisa saja dilaporkan. 

Namun, ketika yang dikritik adalah kebijakan dan presiden sebagai sebuah entitas atau lembaga, negara harus menjamin itu.

Kalau memungkinkan, negara harus kasih pernyataan besar bahwa negara akan menjamin kebebasan berbicara dan kritik. Negara bahkan harus mau bertengkar dengan alat kekuasaannya yang mencoba menjumudkan demokrasi dengan ancaman pidana.

Suharto tidak memberikan kita kebebasan semasa itu. Partai politik dikerdilkan menjadi tiga lewat fusi. 

Pemilu sekadar stempel untuk kekuasaan kala itu. Tidak ada hak rakyat untuk menentukan pilihan.

Kini, untuk caleg, capres, calon kepala daerah, kita semua yang menentukan. Maka itu, esensi demokrasinya dijaga. 

Sekarang sudah mulai tercederai ketika parlemen kemungkinan ada sinyal mengiyakan para kades punya jabatan satu periode selama sembilan tahun dengan maksimal berkuasa tiga periode. 

Itu yang mesti dijaga. Esensi demokrasi sekarang tidak boleh lagi kembali ke masa kejumudan demokrasi era Suharto. Kita khawatir mengimbas ke hal lainnya.

Kita khawatir mengimbas pada tiga kali masa jabatan seorang presiden di orang yang sama. Kita khawatir tidak terjadinya pergantian elite di parlemen dan selalu dikuasai orang yang sama dan sebagainya.

Esensi demokrasi yang kita rebut saat reformasi semestinya dipertahankan dengan baik. Kualitas demokrasi juga mesti ditingkatkan. Kalangan masyarakat sipil juga mesti lebih berani menyuarakan gagasan dan kritiknya. 

Misalnya terhadap kejahatan kemanusiaan, kejahatan lingkungan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan lain-lain.

Ini penting bagi kita untuk menjaga napas demokrasi seperti yang kita impikan di awal reformasi. Kita tentu tidak ingin semua kembali ke alam di mana Suharto mencengkeram kebebasan kita sebagai warga negara.

Tugas berat kita sekarang adalah menjaga demokrasi ini dan mendorong pelakunya berlaku jujur dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Kita ingin demokrasi ini berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Jangan sampai demokrasi justru membikin orang kapok dengan zaman sekarang dan merasa enak dengan zaman Suharto yang kata mereka apa-apa murah, apa-apa mudah didapat, apa-apa aman, dan apa-apa lainnya.

Kita tentu tak ingin kembali ke zaman itu. Kita hendak menatap masa depan dengan terus berharap demokrasi hidup dan menghidupkan. 

Demokrasi cerah dan mencerahkan. Demokrasi makmur dan memakmurkan.

Untuk lima belas tahun kematian Suharto, semoga amal salehnya semasa hidup diterima Allah Swt. Al Fatihah. [Adian Saputra]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun