Saya lahir 27 Januari 1979. Hari ini tepat usia saya 44 tahun. Angka yang bagus, bukan?
Karena menyukai sejarah, sejak SD saya mencari tokoh yang hari lahir atau tanggal wafatnya sama dengan saya. Saya juga acap mencari peristiwa besar yang terjadi pada 27 Januari.
Mendiang Presiden Suharto ternyata punya kesamaan dengan saya. Tentu bukan untuk tanggal kelahiran. Orang kuat Orde Baru itu wafat persis di tanggal yang sama dengan tanggal kelahiran saya.
Tanggal 27 Januari 2008 Suharto wafat di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Orang terakhir yang mengantarnya ke rumah Cendana adalah sopir ambulans rumah sakit itu bernama Sabarto Tarigan. Nama ini saya ketahui pada sebuah feature di Koran Tempo tepat sehari setelah Suharto wafat.
Koran Tempo dan koran-koran besar nasional dan daerah kala itu membuat edisi khusus soal kematian Suharto dan rekam jejak orang kuat Orde Baru itu.Â
Oh iya, jika mencari tokoh yang tanggal lahirnya sama dengan saya, salah satunya mendiang pelukis kenamaan Indonesia, Basuki Abdullah.
Saya hendak mendedahkan soal lima belas tahun usai kematian Suharto ini. Jejak jurnalisme soal kematian Suharto bisa kita sigi dalam beberapa buku yang terbit di Indonesia.Â
Dua buku itu dan kebetulan saya koleksi adalah Pak Harto The Untold Stories yang diterbitkan Gramedia serta buku Suharto Setelah Sang Jenderal Besar Pergi yang diterbitkan KPG hasil karya jurnalis dan penulis Tempo.
Dua buku itu cukup menarik merangkum ujaran orang-orang yang berkaitan erat dengan Suharto semasa The Smiling General itu hidup dan berkuasa.
Yang menarik tentu saja bagaimana perkembangan demokrasi kita usai Suharto wafat. Secara umum kita ketahui, kehidupan demokrasi kita menjadi lebih bebas sekarang.Â
Saat Habibie menjadi presiden, keran demokrasi yang selama 32 tahun beku menjadi cair dan mengalir deras. Partai banyak bermunculan. Pemilu 1999 sering dikatakan orang berjalan paling demokratis menyamai pemilu tahun 1955.