media massa di Kompasiana. Bang Irwan, demikian biasanya saya memanggilnya di kolom percakapan, menulis artikel berjudul "Republika Tumbang, Kompas Bisa Bertahan Sampai Kapan?"
Sahabat saya Kompasianer yang sangat aktif mengunggah tulisan di Kompasiana, Irwan Rinaldi Sikumbang, bikin tulisan soalSaya suka tulisan itu, pertama, karena judulnya menggoda. Rima di setiap akhirannya membuat pembaca dipandu untuk menuju ke arah mana.
Paparan Bang Irwan juga berkualitas oke punya. Tampak kemapananannya sebagai seorang pembaca berita koran dan daring serta jangkauan penulisannya yang mantap.
Intisarinya, Bang Irwan ingin ada prediksi sampai kapan koran sekelas Kompas bisa bertahan dengan cetaknya. Bang Irwan saya yakin tidak ingin juga matinya Republika cetak berimbas ke Kompas.
Kompas memang sejauh ini masih ada. Beberapa koran besar setahu saya juga masih terbit meski mungkin tirasnya tidak sebesar dahulu.
Saya setuju dengan pendapat Bang Irwan bahwa Kompas sudah mendahului kesiapan bermain di level daring dengan adanya Kompas.id. Namun, saya ingin mempertegas juga, buat saya intervensi koran digital ini buat kami pembaca, khususnya di Bandar Lampung belum terasa.
Entah mungkin saya yang tak tanggap atau apa, sekarang pun saya belum berlangganan Kompas.id. Sebagai penggemar berat PK Ojong, pendiri Kompas dan Kompasiana itu, rasanya entah mengapa saya ada perasaan belum perlu berlangganan Kompas.id.
Orang berlangganan itu karena menilai ada sesuatu yang berbeda dan khas yang ia rasakan jika mengeluarkan duit untuk itu. Jika ini yang menjadi alasan, artinya Kompas.id yang merupakan perwujudan Kompas dalam bentuk daring belum saya butuhkan amat.
Kalau boleh mengomparasikan, berbeda dengan Tempo. Sejak Tempo ada tawaran masif di media sosial Instagram dua tahun lalu kalau tak salah, saya sudah berlangganan.
Saya lupa jumlahnya. Soalnya pakai akun rekening istri membayarnya. Tapi pembaca silakan cari sendiri di internet untuk harga itu.
Mengapa kemudian saya langsung tertarik berlangganan? Sebab, Tempo memang sejak awal menyajikan sesuatu yang berbeda.
Beritanya bukan berita biasa yang sifatnya lekang dimakan zaman. Sering ada edisi khusus tiap tahun biasanya jelang Sumpah Pemuda, HUT RI, dan lainnya.
Tiap Tempo terbit, juga ada laporan yang mengarah pada investigasi. Saya menduga Tempo ketiban untung besar saat menaikkan soal ACT.
Karena posisi Tempo memang khas dan jarang media massa wabilkhusus majalah berlaku demikian, saya setidaknya mau berlangganan.
Ditambah lagi tidak hanya majalah, tapi juga Koran Tempo bisa saya baca saban hari. Ini juga faktor pendukung kenapa saya dan pelanggan lain mau menginvestasikan duit untuk informasi dan literasi kami dengan Tempo.
Keunggulan komparatifnya ada. Ia berbeda ketimbang yang lain. Ada keunikan produk yang akhirnya menjatuhkan pilihan kami kepada Tempo.
Kalau ada orang Tempo membaca artikel ini, saya hanya pesan, kasihlah kami para pelanggan setia ini cenderamata. Jadilah dapat suvenir kaus Tempo, supaya ada kenang-kenangan.
Nah, bagaimana dengan Kompas. Saya melihat Kompas memang punya "kesulitan" tersendiri untuk mengubah citranya sebagai koran cetak menjadi koran digital.
Mungkin pendapat saya salah karena belum pernah lihat satu kali pun edisi Kompas.id.
Tapi, saya masih membaca Kompas edisi cetak. Biasanya saya membeli di akhir pekan karena beritanya atau tepatnya artikelnya keren-keren. Nah dari sini saya ingin memberikan masukan.
Kompas mesti tetap pada garis utamanya sebagai koran yang kritis, cerdas, dan memberikan nilai tambah pengetahuan kepada pembacanya.
Saya juga senang dan mendukung jika Kompas selalu memberikan tempat kepada yang papa. Entah di mana saya baca, salag satu pendiri Kompas mendiang Jacob Oetama pernah bilang, "melindungi yang papa, mengingatkan yang kaya".
Kurang lebih napas redaksinya demikian. Saya tak sempat lagi mencari frasa itu di internet karena laptop saya minim daya akibat Bandar Lampung sejak malam padam nyala listriknya.
Kompas yang harian saya usul supaya memperbanyak opini dari pakar dan kolumnis. Banyak kolumnis eks wartawan Kompas yang punya perspektif menarik untuk ditulis. Pembaca pasti tunggu itu.
Dulu ada lembar "Freez" Kompasiana di Kompas. Halaman itu saya usul ada setiap hari atau minimal sepekan sekali di Kompas.id. memperbanyak ruang kepada pelanggan adalah keunggulan dan kewajiban koran.
Sebab, itu adalah implementasi Kompas menyediakan ruang publik sebagaimana satu dari 9 Elemen Jurnalisme yang dikembangkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.
Kompas mesti sedikit membedakan antara versi cetak dan id-nya. Saran saya desain dan grafisnya disesuaikan dengan tren masa sekarang. Jangan berubah ke id, dalamannya masih napas cetak semua, sama saja bohong.
Kompas mesti berani berbeda. Meski ada perubahan, tetap tidak mereduksi nilai yang sekarang. Itu hanya pilihan dan strategi. Ini yang dimaksud Bang Irwan agar Kompas punya segmentasi pembaca anak mudanya.
Setidaknya membuat segementasi baru yang mungkin belum diceruki koran digital lain.
Saya sih inginnya ada perubahan tampilan dan konten sebanyak separuh dari sebelumnya.
Kalau sekadar memindahkan bentuk cetak ke digital, itu sih Republika sudah duluan bertahun-tahun lalu sejak koran mereka masih berjaya dan bersanding dengan Kompas sebagai dua koran besar di Tanah Air.
Perubahan ke id meskipun maknanya membawa edisi cetak ke digital, tetap mesti punya perubahan dan daya tarik milenial yang kuat. Kasihlah di bagian kaki atau bawah koran itu satu rubrik yang tiap hari berkaitan dengan milenial.
Isunya tentu banyak. Cek saja saban hari di media sosial. Dari situ Kompas bisa merajut komunikasi bersama mereka.
Namun, kontennya dibikin spesifik dan jangan pula terlalu remahan rengginang. Terlalu lemah untuk dihancurkan, kawan.
Saya kasih ide. Misalnya 27 Januari nanti adalah 15 tahun wafatnya bekas Presiden Suharto, orang kuat Orde Baru yang pimpin negara ini 32 tahun lamanya.Â
Nah, silakan diolah sama Kompas. Bagaimana menyajikan konten yang agak mengasah otak itu dengan generasi muda zaman sekarang.Â
Mungkin bisa bikin jajak pendapat. Tanyakan kenal enggak mereka dengan Suharto. Apa tanggapan mereka soal Suharto. Dan sebagainya dan sebagainya.Â
Tapi dikemas dengan menarik dan berbahasa milenial dengan tetap mengedepankan semangat Kompas dalam menjaga amanat hari nurani rakyat dan nilai-nilai keimanan transendental.
Pendek redaksi, Kompas.id adalah sebuah keniscayaan. Kompas juga tidak bisa juga masih yakin kalau korannya bakal laku terus. Koran sudah senjakala.
Kompas bersyukur Kompas.com sudah ada sejak lama dan berkibar. Tapi, orang juga mesti disuguhi dengan kedalaman.
Ini dia, kedalaman. Kalau membaca Kompas sama saja dengan kita banyak Kompas.com, buat apa orang mau langganan. Tidak ada beda.
Tadi seperti saya bilang, ada keunggulan komparatifnya. Ada kedalaman. Maka, satu angle berita mesti berkedalaman. Dalam juga tak perlu berpanjang kata.
Asal informasinya padat dan substansial, itu sudah cukup dan berkedalaman. Pembaca bisa mendapatkan sesuatu yang berbeda daripada yang cetak.
Saya cukupkan artikel ini dan hendak meng-Kompasiana-kan sesegera mungkin sebelum baterai laptop saja padam karena tidak ada pasokan sejak malam.
Buat Bang Irwan, terima kasih sudah menulis artikel yang membuat saya terinspirasi untuk menanggapi. Sebuah tradisi intelektual yang baik. Saya tanggapi dengan ide yang buat saya sih bernas, Bang.
Mari bertengkar dalam pikiran dan gagasan. Tsaaaah gaya bener.
Mari sambut Senin ini dengan cerah dengan menyesap secangkir kopi pahit panas. [Adian Saputra]
Foto pinjam dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H