Namun, kontennya dibikin spesifik dan jangan pula terlalu remahan rengginang. Terlalu lemah untuk dihancurkan, kawan.
Saya kasih ide. Misalnya 27 Januari nanti adalah 15 tahun wafatnya bekas Presiden Suharto, orang kuat Orde Baru yang pimpin negara ini 32 tahun lamanya.Â
Nah, silakan diolah sama Kompas. Bagaimana menyajikan konten yang agak mengasah otak itu dengan generasi muda zaman sekarang.Â
Mungkin bisa bikin jajak pendapat. Tanyakan kenal enggak mereka dengan Suharto. Apa tanggapan mereka soal Suharto. Dan sebagainya dan sebagainya.Â
Tapi dikemas dengan menarik dan berbahasa milenial dengan tetap mengedepankan semangat Kompas dalam menjaga amanat hari nurani rakyat dan nilai-nilai keimanan transendental.
Pendek redaksi, Kompas.id adalah sebuah keniscayaan. Kompas juga tidak bisa juga masih yakin kalau korannya bakal laku terus. Koran sudah senjakala.
Kompas bersyukur Kompas.com sudah ada sejak lama dan berkibar. Tapi, orang juga mesti disuguhi dengan kedalaman.
Ini dia, kedalaman. Kalau membaca Kompas sama saja dengan kita banyak Kompas.com, buat apa orang mau langganan. Tidak ada beda.
Tadi seperti saya bilang, ada keunggulan komparatifnya. Ada kedalaman. Maka, satu angle berita mesti berkedalaman. Dalam juga tak perlu berpanjang kata.
Asal informasinya padat dan substansial, itu sudah cukup dan berkedalaman. Pembaca bisa mendapatkan sesuatu yang berbeda daripada yang cetak.
Saya cukupkan artikel ini dan hendak meng-Kompasiana-kan sesegera mungkin sebelum baterai laptop saja padam karena tidak ada pasokan sejak malam.