Beritanya bukan berita biasa yang sifatnya lekang dimakan zaman. Sering ada edisi khusus tiap tahun biasanya jelang Sumpah Pemuda, HUT RI, dan lainnya.
Tiap Tempo terbit, juga ada laporan yang mengarah pada investigasi. Saya menduga Tempo ketiban untung besar saat menaikkan soal ACT.
Karena posisi Tempo memang khas dan jarang media massa wabilkhusus majalah berlaku demikian, saya setidaknya mau berlangganan.
Ditambah lagi tidak hanya majalah, tapi juga Koran Tempo bisa saya baca saban hari. Ini juga faktor pendukung kenapa saya dan pelanggan lain mau menginvestasikan duit untuk informasi dan literasi kami dengan Tempo.
Keunggulan komparatifnya ada. Ia berbeda ketimbang yang lain. Ada keunikan produk yang akhirnya menjatuhkan pilihan kami kepada Tempo.
Kalau ada orang Tempo membaca artikel ini, saya hanya pesan, kasihlah kami para pelanggan setia ini cenderamata. Jadilah dapat suvenir kaus Tempo, supaya ada kenang-kenangan.
Nah, bagaimana dengan Kompas. Saya melihat Kompas memang punya "kesulitan" tersendiri untuk mengubah citranya sebagai koran cetak menjadi koran digital.
Mungkin pendapat saya salah karena belum pernah lihat satu kali pun edisi Kompas.id.
Tapi, saya masih membaca Kompas edisi cetak. Biasanya saya membeli di akhir pekan karena beritanya atau tepatnya artikelnya keren-keren. Nah dari sini saya ingin memberikan masukan.
Kompas mesti tetap pada garis utamanya sebagai koran yang kritis, cerdas, dan memberikan nilai tambah pengetahuan kepada pembacanya.
Saya juga senang dan mendukung jika Kompas selalu memberikan tempat kepada yang papa. Entah di mana saya baca, salag satu pendiri Kompas mendiang Jacob Oetama pernah bilang, "melindungi yang papa, mengingatkan yang kaya".