Tapi apa boleh buat, kegemaran saya memakai jeans, kaus berkerah, dan sepatu sport, sampai juga ke pimpinan fakultas.Â
Ujungnya, saya ditelepon sekretaris jurusan yang meminta saya semester depan tidak lagi mengenakan kaus berkerah dan celana jeans. Saya menjawab ringkas: siap.
Alhasil semester berikutnya saya mencoba berubah, sesekali saja dulu. Celana mulai pakai berbahan kain. Tapi kalau tidak ada tetap bahan semi-jeans dan warnanya tidak biru yang khas betul dengan jeans.
Untuk atasan terpaksa pakai kemeja. Saya juga suka rapi dan suka pakai kemeja. Persoalannya tadi itu saja. Saya mudah sekali berkeringat.Â
Supaya makin enak dilihat, saya melapis lagi kemeja itu dengan vest atau rompi beludru halus yang agak tipis. Soal warna, saya pilih vest gelap.
Hal itu akhirnya saya rasakan juga. Mengajar dengan kemeja. Sepatu yang lama masih dipakai karena soal sepatu tidak ada aturan yang baku.
Sampai sini saya ingin mendedahkan sedikit perihal kaus oblong dan celana jeans ini.Â
Saya juga tak habis pikir kenapa dua jenis material ini ada masalah jika ditempatkan pada konteks ruang ibadah dan kampus.
Bagi saya pribadi, ketika kita salat menggunakan kaus oblong, selama masih rapi dan tidak bolong di sana-sini rasanya masih pantas.Â
Memang benar kita dianjurkan mengenakan pakaian terbaik saat menghadap Tuhan. Tapi jika memang kita lebih rileks dan nyaman serta merasa kaus oblong mahal itulah yang paling oke, bagaimana kira-kira.
Kecuali kita pakai kaus oblong yang sudah pudar warnanya dan di bagian belakangnya ramai dengan warna dan tulisan. Kalau itu saya juga tidak akan menoleransi. Tapi kalau masih dalam konteks yang wajar, saya kira tidak mengapa.