Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Argumentasi Kuat Mengapa Ranking Tetap Perlu Ditulis di Rapor

5 Januari 2023   12:16 Diperbarui: 8 Januari 2023   21:55 1477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ranking tetap perlu ditulis di dalam rapor siswa. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Saya lulus sekolah dasar tahun 1991. Masa itu masih ada penulisan ranking atau peringkat di rapor. 

Karena ada ranking, kami bisa saling lihat satu dan lain. Saling membandingkan. Tidak ada yang melakukan perundungan. Tapi bagi yang sudah akrab betul, kadang jadi bahan candaan.

Di sekolah dasar ini saya hanya berkutat di 30 besar dari 40-an siswa. Saingan berat-berat. 

SDN 2 Rawalaut (Teladan) tempat saya sekolah adalah sekolah bagus. Siswanya pintar-pintar. Gizinya bagus-bagus. Asal tak juru kunci saja sudah alhamdulillah.

Waktu SMP juga demikian. Dua pertiga kawan-kawan dari SD tadi masuk ke SMPN 2 Tanjungkarang. Saya makin sulit bersaing. Pelajaran sudah mulai susah. 

Mulai ada fisika, kimia, dan biologi. Matematika bikin kepala pening. Alhasil prestasi di pemeringkatan di rapor masih tak berubah. Targetnya asal tidak paling bawah.

Masuk SMA juga sami mawon. SMAN 2 Tanjungkarang adalah sekolah berkelas. Dua pertiga kawan-kawan dari SMP tadi masuk ke sini. 

Makin runyam urusan belajar. Makin tak mungkin masuk 10 besar. Target sudah pas dan masih sama, asal tidak paling buncit.

Syukur alhamdulillah, bergaul dengan orang-orang pintar bikin saya biasa berkompetisi. Meski tahu isi otak dan intelektualitas rada payah, saya berusaha maksimal dalam belajar. Kalau hasilnya belum, memuaskan, ya jangan salahkan siapa-siapa.

Dulu ukuran pintar di akademik memang hanya lihat nilai rapor. Pasalnya, itulah satu-satunya alat ukur untuk tahu seberapa besar tingkat penyerapan pelajaran di kelas.

Memang waktu itu juga sudah ada kesadaran bahwa melihat pintar itu tak hanya dari ranking di rapor. Ada kekhususan kepada seseorang terhadap minat dan bakatnya. 

Wah, saya setuju banget ini. Alasan bagi orang yang tak pernah dapat ranking bagus ya begini, hahaha.

Beberapa tahun belakangan, banyak sekolah yang meniadakan ranking dalam rapor. Di tempat sekolah anak saya masih ada pemeringkatan dalam rapor. 

Tapi di beberapa sekolah sudah tidak ada. Rapor hanya berisi nilai dan narasi bikinan guru terhadap prestasi siswa.

Karena marak, akhirnya kini orangtua tak lazim lagi bertanya kepada anak atau anak tetangganya, ranking berapa di rapornya? Nyaris sudah jarang dengar.

Bagi saya, sebetulnya, ranking itu masih perlu. Alasan saya begini. Saya setuju kok dengan ukuran kecerdasan yang tidak hanya dilihat dari nilai akademik. Sering kan dengar begini?

Seorang anak yang piawai renang dan menjatuhkan pilihan menjadi perenang nasional, tidak penting kok dia belajar matematika, fisika, kimia, biologi, dan sebagainya. 

Anak yang sejak kecil sudah menunjukkan talenta dalam bermain bola, difokuskan saja ke sana. Ia barangkali tidak lagi memerlukan pelajaran lain sebagai alat ukur kecerdasannya.

Anak yang suka melukis dan menjatuhkan pilihan pada seni, juga tak mesti digeber amat untuk pelajaran lain. Dan sebagainya dan sebagainya. Saya cocok di sini. Setuju sekali.

Sekarang mari kita balik. Bagaimana dengan anak yang secara fisik dia lemah dan tak suka olahraga. 

Ia juga tak menggemari kesenian semacam menari, melukis, membuat puisi, dan lainnya. Bagaimana dengan anak yang kecenderungannya memang pendiam dan tak banyak kawan. Ia bukan sombong tapi memang tipikalnya demikian.

Namun, untuk pelajaran akademik, ia sangat cemerlang. Semua mata pelajaran eksakta, sosial, dan bahasa ia gemilang. Tak ada yang bisa menyaingi kinerjanya di bidang akademik.

Jika anak-anak yang kurang secara akademik tadi tapi punya kecerdasan lainnya kita beri apresiasi, bagaimana dengan anak yang memang orientasinya akademik. 

Di mana ia bisa menunjukkan kalau aku memang lebih pintar ketimbang yang lain. Bagaimana ia bisa yakin dan percaya diri kalau penghargaan untuk dirinya di bidang akademik malah kemudian dihilangkan.

Guru bisa saja bilang, nilai kamu paling tinggi di kelas, Nak. Kamu yang terbaik. Tapi angka dan narasi itu penting. 

Kenapa kita tidak tetap saja memberikan ruang kepada mereka yang orientasinya memang akademik. Percuma dong dia belajar saban hari dan meraih nilai tinggi, tapi secara peringkat wabilkhusus akademik ia tidak dapatkan? Semoga khalayak pembaca bisa memahfumi argumentasi ini.

Yang namanya sekolah sudah pasti dong lembaga yang bikin anak kita pintar. Ya termasuk pintar dalam berakhlakul karimah dan lainnya. 

Tapi esensi di sekolah adalah akademik. Masak iya kita tak berharap anak-anak cerdas secara akademik? Setengah harian penuh lo di sekolah itu. Malah ada yang sampai sore.

Kalau ranking itu kemudian dihapuskan dan tidak dijadikan ukuran kehebatan si anak dalam akademik, buat saya sih ya kurang bijak. 

Kalau kita sepakat bahwa kecerdasan itu macam-macam, ya kita juga mesti memberikan ruang kepada anak-anak yang kecenderungan akademiknya kuat. 

Kita bisa menghargai anak yang punya kecerdasan linguistik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersolnal, dan ukuran kecerdasan lain. Tapi masak iya kita lantas tidak memberikan penghargaan kepada mereka yang kecenderungannya memang akademik.

Dari argumentasi ini, saya tetap ingin ranking di rapor ditulis. Nah, kalau sudah ditulis, saya cocok tuh kayak guru di sebuah akun Instagram yang saya lihat. Guru laki itu bilang begini kurang lebih.

"Selamat ya, Pak, anak bapak ranking 35 atau yang terakhir. Tapi Bapak enggak usah marahi anak Bapak. Tiap anak ada kecerdasan masing-masing. Ini hanya ukuran akademik. Anak Bapak bakat jadi pelari hebat dan calon atlet nasional. Selamat ya, Pak."

Oh iya, anak saya yang kelas VII SMP ranking 10 dari 31 orang. Sementara si bungsu, kelas III SD, ranking 20 dari 21 siswa. Mantap bukan? Salam hangat dari Bandar Lampung. Kamis, 5 Januari 2023. [Adian Saputra]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun