Kita barangkali tidak menyadari, sedikit banyak pasti ada pengaruhnya terhadap objek yang diberitakan. Lagu "Keong Racun" yang dulu pernah melambungkan Sinta-Jojo sehingga mereka kerap diundang televisi. Keduanya relatif terbilang cantik. Dari diundang televisi sampai main iklan, pastilah pundi uang mereka bertambah. Setidaknya, akses mereka untuk menjajal dunia hiburan makin terbuka meski itu tak dilakukan. Soal mereka kini tenggelam dan anak zaman sekarang mungkin tak kenal, itu poin lain.
Yang ingin disampaikan tentu saja, imbas pemberitaan media massa tetap saja ada buat Ninih, Sasa, Nisa, dan cantik-cantik lainnya. Mereka dikenal, diwawancarai, diberi sesi di televisi, dan diberikan honor. Tentu signifikan buat mereka. Andaipun mereka tetap dengan pekerjaan semula dan enggan "memanfaatkan" kecantikannya, itu sikap pribadi mereka yang perlu dihargai. Dengan redaksi lain, sedikit banyak pasti ada pengaruh sebuah pemberitaan terhadap objek liputan. Entah dia cantik atau tidak. Entah berita hard, entah berita soft.
Jurnalisme memang tidak mengenal diksi berikutnya pasca-lema "jurnalisme" itu sendiri. Jurnalisme ya jurnalisme yang menghadirkan fakta, memverifikasinya dengan disiplin, memberikan ruang kritik publik, dan menyajikannya secara menarik, serta ditingkahi kerendah-hatian pewartanya.
Diksi cantik yang dipadupadankan di sini sehingga menjadi "jurnalisme lipstik" sekadar frasa untuk menjadikannya diskursus meski dalam tataran yang ringan. Ia tetap menarik jika disajikan proporsional. Cantik tetap indah dibaca dan dinikmati jika porsinya pas dan tak berlebihan. Dan selama ini, menurut penulis, masih dalam ranah itu. Sehingga, masih bisa dinikmati dengan selera tinggi. Bahwa ia adalah bagian dari produk jurnalistik yang unik, menarik, dan cantik. [Adian Saputra]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H