Dua pekan lalu saya menjadi moderator sosialisasi peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2022 tentang partisipasi masyarakat terhadap pemilu 2024.
Beberapa perwakilan hadir dalam acara itu. Di antaranya jurnalis, pegiat media sosial, pemantau, lembaga survei dan hitung cepat, perwakilan organisasi perempuan, disabilitas, dan sebagainya.
Dalam sesi tanya jawab, ada jurnalis televisi berjaringan nasional yang tanya kepada narasumber. Narasumber adalah Ketua KPU Bandar Lampung Dedy Triyadi, jurnalis Tribun Lampung yang juga mantan ketua AJI Bandar Lampung Yoso Muliawan, dan dosen UIN Raden Intan Lampung Heru Juabdin Sada.
Reporter televisi itu tanya, bagaimana ia bisa tetap independen meski bos utama medianya juga ketua umum partai politik yang akan berlaga di pemilu 2024. Jika merujuk partai yang ada, memang ada dua ketua umum yang juga pemilik media massa. Yang satu Surya Paloh, ketua umum Partai Nasdem, yang juga bos MetroTV.
Satu lagi Hary Tanoesoedibjo, ketua umum Partai Perindo yang juga pemilik MNC Grup yang bernaung di dalamnya RCTI, MNC, Global, dan InewsTV.
Publik barangkali khawatir pemilik media massa itu menggunakan sumber daya medianya untuk kepentingan partai politik. Beberapa tahun yang lampau juga banyak kritik kepada MNC yang acap menayangkan mars Partai Perindo di televisi yang berjaringan di dalamnya. Meski sudah gencar mars itu, suara Perindo juga tak cukup masuk ambang batas suara parlemen.
Demikian juga dengan MetroTV yang dikhawatirkan publik banyak menayangkan berita Partai Nasdem sehingga mengurangi hak publik dalam mendapatkan informasi lainnya.
Saya ingin mendedahkan ini dengan simpel saja. Bahwa pemilik media massa itu aktif di partai politik, adalah hak semua warga. Bahwa ia menjabat ketua partai, juga merupakan hak dalam demokrasi.
Lantas, dengan media massa yang ia punya, ia memanfaatkan semaksimal mungkin untuk membantu mensosialisasikan program partai. Dalam konteks itu juga masih wajar. Apalagi kalau produk yang dihasilkan itu berita yang faktual. Bahwa kemudian tayangan soal partai yang dipimpin bos media itu mendominasi, juga masih dalam konteks yang wajar.
Pendek kata, suka-suka kamu saja mengelolanya. Toh partai dan media massa itu punya kamu. Sampai di sini dulu penjelasannya.
Kemudian, bagaimana dengan publik? Jika media massa punya hak untuk mewartakan apa saja, publik juga punya hak untuk menentukan pilihan. Termasuk jika ia merasa muak dengan dominasi tayangan di televisi yang dipenuhi aktivitas ketua umum partai dan programnya. Silakan ambil remote televisi dan alihkan ke siaran lain.
Pemilu itu lima tahun sekali. Namun, pemilu media massa berlangsung terus tiap hari, bahkan tiap detik dan menit. Pilihan kita terhadap media bergantung dari cara pandang kita terhadap media massa itu. Kalau kita sudah melihat media massa itu partisan dan kita tidak suka, seperti tadi jawabannya. Silakan pilih kanal lain. Setop menonton tayangan itu. Adil, bukan?
Logika sederhananya, manajemen media massa juga tak ingin ditinggalkan penonton yang juga barangkali ceruk konstituen partai si empunya media massa. Maka itu, manajemen media massa mengelola program dengan baik. Dan sepanjang pengamatan saya, itu yang berlangsung sekarang.
Saya tidak menemukan adanya dominasi yang begitu tinggi terhadap Nasdem atau Anies Baswedan di MetroTV. Bahwa dia agak banyak, sudah pasti. Tapi masih kontekstual. Sebab, faktual di lapangannya memang ada. Jadi, jurnalis bekerja berdasar peristiwa yang terjadi. Bahwa itu berkenaan dengan partai dan aktivitas capres mereka, Anies Baswedan, memang yang terjadi demikian.
Demikian pula di grup MNC, saya menyiginya juga demikian. Bahkan, untuk tayangan partai Perindo di televisi jaringan ini, mesti tetap berkontribusi alias enggak gratis juga. Maka, sampai noktah ini, saya menilainya demokratis saja. Pengelola media massa juga tak mau blunder dengan menyajikan berlebihan kegiatan partai milik bos mereka di televisi yang mereka kelola.
Sekarang saya hendak menjawab, bagaimana dengan jurnalisnya? Apa haram mereka kerja di media massa yang bosnya menjadi ketua partai? Apakah mereka tidak bisa jaga independensi jika bekerja di media massa semacam itu?
Soal independensi dan profesionalitas kerja, itu sikap masing-masing. Jurnalis mesti independen sebagai nilai mereka. Kalau kemudian mereka bekerja di media massa yang pemiliknya ketua partai, itu tidak serta merta mengganggu profesionalitas mereka.
Jika reporter MetroTV sedang liputan Anies Baswedan, ia akan tetap sama cara bekerjanya seperti liputan lain. Ia menjalankan fungsinya sebagai jurnalis yang mewartakan. Ia tidak menambah-nambahi sehingga narasi yang terbangun lebih mirip kampanye ketimbang berita.
Demikian pula jurnalis televisi jaringan MNC, ia akan tetap bekerja sama seperti liputan lain, saat meliput kegiatan Partai Perindo atau aktivitas ketua umumnya Hary Tanoe. Bahwa kemudian ia merasa bungah karena bisa bertemu dengan bos tempat ia bekerja, ya manusiawi saja. Itu merasa mendapat kehormatan dengan melakukan liputan yang dilakukan bosnya. Semua berjalan alamiah saja.
Nah, catatan pentingnya, seperti dikatakan Yoso Muliawan selaku narasumber acara tadi, jurnalis jangan sampai menjadi alat untuk mencari-cari keburukan calon lain yang berhadap-hadapan dengan partai milik bos medianya. Atau dengan menyengaja mencari bentuk kampanye busuk nan hitam terhadap caleg atau capres yang didukung partai lain. Atau yang lebih gila lagi, mensyiarkan dengan jelas dukungan kepada partai dan capres di media sosial sehingga menyebabkan kegaduhan.
Media massa juga termaktub dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2022 itu. Maka itu, tugas media massa dengan jurnalis sebagai aktor utamanya adalah berupaya agar orang tahu kapan pemilu serentak diadakan. Media massa perlu memberi tahu urgensi dari pemilu ini. Jurnalis mesti liputan kritis soal daftar pemilih yang saban pemilu bermasalah. Wartawan berkewajiban untuk mendorong demokratisasi. Termasuk memberitakan bahayanya politik uang.
Bahwa kemudian sesekali dapat tugas meliput kegiatan partai atau caleg yang berafiliasi dengan partai bos medianya ya silakan saja. Namanya saja penugasan, mesti dijalani dengan baik dan profesional.
Dalam biografi Karni Ilyas yang berjudul Lahir untuk Berita, Karni Ilyas bilang begini. Tidak ada media massa yang bersih dari intervensi. Termasuk dari pemilik. Jangankan dari pemilik, kawan kita saja kadang sering mengintervensi. Misalnya, ada teman bikin kegiatan seminar. Ia tahu kita wartawan. Ia kemudian meminta kita dengan setengah memaksa untuk meliput acara yang ia adakan. Itu juga bentuk intervensi.
Makanya, ujar Karni, tinggal kita pintar-pintar bersiasat agar kerja jurnalisme kita tetap mengedepankan urusan publik dengan tetap menjaga nama baik perusahaan. Karni pasti paham itu karena ia masih di jajaran elite TVOne yang pemiliknya juga orang partai, Aburizal Bakrie. Soal lumpur Lapindo, Karni kenyang dengan itu.
Bagaimana ia bisa menyiasati agar berita soal lumpur Lapindo yang berkenanan dengan owner, termasuk hak masyarakat di sana terwartakan. Di satu sisi ia mesti juga menjaga muruah media massa yang ia pimpin. Peribahasa orang Minang, "Pandai-pandai meniti buih, selamat badan sampai ke seberang."
Sebetulnya di media massa lokal juga acap terjadi. Misal ada koran yang bos besarnya menjadi caleg. Maka, "wajar" kalau saban hari muka bos dengan balutan baju partai dan nomor urutnya terpampang di halaman depan. Itu bagian dari ikhtiarnya memaksimalkan media massa yang ia punya sebagai alat untuk kampanye. Tinggal pasang garis api alias firewall untuk membedakan antara berita dan iklan.
Setakat ini, kita bisa memahami persoalan ini dengan baik dan dari beragam sudut. Dengan begitu, kita bisa menilainya dengan jernih. Jika memang hasil analisis kita menyatakan media massa tidak bisa dimiliki ketua umum partai, itu hak pribadi kita juga. Termasuk dengan tidak menonton siaran dari televisi yang pemiliknya ketua umum partai.
Yang jelas, jurnalis yang berada di dalamnya jangan dicaci dan dinyinyiri. Ia hanya bekerja dengan independensi yang tinggi dan profesionalitas yang mumpuni. Ia murni pekerja profesional. Bahwa kebetulan ia bekerja di perusahaan yang mana pemiliknya adalah ketua umum partai, itu sudah suratan. Wallahualam bissawab saja menjawabnya. [Adian Saputra]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H