Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mendidik Warganet Disiplin Verifikasi demi Informasi Sarat Akurasi

19 Desember 2022   14:17 Diperbarui: 20 Desember 2022   03:05 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pentingnya verifikasi informasi| Dok Shutterstock via Kompas.com

Sumber informasi sekarang berkelewahan. Media massa arus utama berupa koran, situs berita, koran elektronik, radio, televisi, dan lainnnya kalah bersaing dengan akun media sosial. Ada akun media sosial yang saban hari memuat informasi tentang apa saja yang terjadi di kotanya.

Mungkin karena akunnya sudah terkenal, semua orang bisa memasukkan informasi apa saja ke admin yang mengurusnya. Entah itu foto atau video. Kini, nyaris semua yang viral itu ada di media sosial.

Wartawan media arus utama sering menjadikan bahan di media sosial sebagai bahan utama beritanya. Bedanya, kalau di media sosial hanya terpampang apa adanya, jurnalis menambahkan dengan verifikasi ke beberapa pihak.

Misalnya ada kecelakaan lalu lintas yang ada korban jiwanya. Secara cepat akun media sosial dapat foto bahkan videonya. Kadang lengkap dengan situasi di lokasi. Terkadang foto yang mengerikan, darah, misalnya, masih khilaf diblurkan. Alhasil orang jadi bisa lihat secara jelas korban yang kecelakaan.

Tak lama banyak juga status WhatsApp yang memunculkan informasi itu. Apalagi masuk ke grup-grup WhatsApp. Dalam waktu ringkas, informasi itu beredar luas. 

Hakulyakin, media arus utama kebobolan. Mereka tahu belakangan. Kadang, jurnalis yang mau informasi itu naik siar cepat di web ia kelola, menuliskan apa adanya dari informasi di media sosial. Ia tidak menambahkan apa-apa. Tidak ada upaya untuk melakukan verifikasi atau pengecekan lebih lanjut. Yang penting, dalam benaknya, media saya paling cepat memberitakan.

Informasi yang ada di media sosial, baik di akun Instagram, status WhatsApp seseorang, tidak melulu selalu jadi rujukan. Kita mesti paham bahwa sekarang sumber informasi bisa dari mana saja. Semua orang bisa jadi reporter. Semua orang yang bisa rekam video bisa jadi reporter warga.

Namun, tak semua warga tahu apakah yang ia potret atau rekam itu bisa disiarkan di media sosial mereka. Tak semua warga tahu kalau darah, korban asusila, anak-anak yang menjadi tersangka kejahatan, atau mereka yang mengidap HIV/AIDS tak boleh disebut jelas. Apatah lagi fotonya.

Disiplin verifikasi adalah satu di antara sembilan elemen yang diwanti-wanti Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme. Maknanya, jika ada kabar, ceklah terlebih dahulu. Pastikan informasi itu tidak salah atau bahkan membohongi.

Jauh sebelum ada jurnalisme, di Al Quran sudah dijelaskan soal kabar berita ini. Kita bisa cek di Surat Al Hujarat ayat 6. Artinya dalam bahasa Indonesia kurang lebih begini. "Wahai orang-orang beriman. Jika seseorang datang kepada kamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya. Agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu."

Ini mempunyai makna mendalam. Bagi kita yang mendapat informasi yang menghebohkan, jangan mudah percaya. Skeptislah atas informasi yang datang kepada kita. Apalagi kita mendapatkan itu dari orang yang sering membagikan tautan informasi yang tidak jelas.

Kecuali kalau kejadian itu pas kita ada di sana. Misal saat berkendara, kita melihat ada kerumunan orang. Rupanya ada kejadian kecelakaan. Korban sudah dibawa ke rumah sakit. Ceceran darah masih ada. 

Kita bisa mewartakan itu dengan tanggung jawab. Foto atau rekam motor atau kendaraan itu, misalnya pelat kendaraan. Situasi ramai sekitar silakan diambil. Tapi jangan coba-coba rekam atau potret ceceran darah di aspal. Itu tidak diperkenankan.

Usai dapat itu, silakan unggah ke media sosial baik WhatsApp, Instagram, Twitter, maupun Facebook. Bikinlah narasi yang menginformasikan. Jangan kasih diksi yang menyeramkan. Kita bisa menulis, misalnya.

Teman-teman, kecelakan terjadi di jalur by pass lintas Sumatera, tepatnya di perbatasan antara Bandar Lampung dan Lampung Selatan. Kecelakaan melibatkan satu sepeda motor dengan pelat XXXX dan sebuah mobil merek XXX dengan pelat nomor XXX. Korban sudah dibawa ke rumah sakit. Buat teman-teman yang tahu pemilik kendaraan, silakan menginformasikan kepada keluarganya. Semoga korban selamat.

Informasi yang ringkas ini akan membantu banyak pihak. Warga internet (warganet) yang mengetahui pemilik kendaraan tentu akan menghubungi keluarga yang bersangkutan. 

Jurnalis yang tahu segera menuliskan ini dengan narasumber catatan kita. Nanti ia akan melengkapi dengan langsung ke lokasi kejadian, atau ke rumah sakit tempat korban dirawat. Bisa juga menambahkan dengan keterangan kepolisian atau saksi mata di dekat lokasi.

Pada konteks ini, jurnalis warga mampu melakukan reportase singkat yang baik dan akurat. Jurnalis juga bisa menaikkan informasi itu karena sudah melakukan verifikasi dengan orang yang membuat status. Asal ia yakin dengan informasi itu, jurnalis bisa menuliskannya. Apatah lagi di media sosial sudah ramai dengan informasi itu.

Saya pernah punya pengalaman menarik. Beberapa tahun lalu ada seseorang yang meninggal dunia usai terjun dari bagian atap Transmart di Bandar Lampung. Saya ada di kantor waktu itu. 

Sekitar jam setengah empat, seorang teman menelepon lewat WhatsApp. Namanya Heni. Ia aparatur sipil negara di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Lampung. Saya dan Heni beberapa kali bertemu dalam acara kedinasan.

Waktu telepon saya angkat, Heni dengan suara tertahan karena menangis, memberi tahu saya. Intinya ada orang bunuh diri dari atas Transmart. Warga menonton di bawah. Orang yang jatuh itu agak lama di atas. Orang-orang meneriakinya agar jangan melompat. 

Heni cerita juga. Ia sempat kasih tahu satpam dan petugas di bawah supaya bantu agar orang yang mau bunuh diri itu bisa selamat. Heni bilang, ia minta satpam mengambil kasur pegas atau springbed di beberapa toko di lantai dasar untuk ditaruh di bawah. Logika Heni, kalau orang itu lompat, ada kans selamat karena menghantam kasur pegas. 

Heni, masih dengan suara tersengal-sengal bilang, ia jijik dengan kelakuan orang-orang. Banyak warga merekam kejadian itu. Termasuk saat orang itu benar-benar bunuh diri. 

Heni cerita, ada ibu-ibu yang masih menggendong anak, sempat-sempatnya merekam orang yang baru saja meninggal usai jatuh dari atas gedung mal itu. Heni meracau kepada saya.

Saya hanya menekankan kepada Heni, informasi itu benar adanya. Heni mengiyakan. Yang saya yakin, karena Heni bilang ia ada di lokasi kala kejadian.

"Aku ada di lokasi, Bang. Ini aku udah pulang terus aku telepon Abang. Itu orang-orang, ya Allah tega amat foto dan rekam orang yang jatuh bunuh diri."

Usai Heni menutup telepon, saya telepon reporter mengabarkan soal itu. Andi Apriyadi namanya. Ia sigap bergerak ke lokasi kejadian. Informasi dari Heni, karena saya yakin sahih, saya tulis. Dua menit kemudian berita itu tayang di media internet yang dulu saya kelola, jejamo.com namanya.

Namanya berita berbasis peristiwa apalagi jadi tren di media sosial, artikel itu segera banyak diakses. Saya tak memedulikan itu. Tugas saya berikutnya menunggu informasi yang reporter dan menaikkannya menjadi berita lanjutan.

Malam hari saya dikirimi pesan WhatsApp dari seorang mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Raden Intan Lampung. Saya memang dosen dia saat semester III. 

Dia bilang, berita orang bunuh diri lompat dari atas Transmart di web yang saya kelola paling atas dalam pencarian, mengungguli berita di web lain, bahkan Tribunnews yang biasanya paling duluan memberitakan. Saya hanya ucapkan terima kasih.

Cerita ini saya sampaikan agar kita saksama dalam mendapat informasi. Kalau belum apa-apa sudah kita beritakan, tanpa berusaha melakukan verifikasi maksimal, berita yang kita bikin akan salah. Kalau sudah salah, informasi jadi salah berjamaah.

Maka itu, kepada warganet, penting juga untuk dididik agar bisa disiplin dalam verifikasi. Jangan tergoda untuk meneruskan pesan yang belum tentu sahih kebenarannya. 

Jangan buru-buru mengirimkan tautan apa saja yang belum tentu valid ke grup-grup WhatsApp. Disiplin verifikasi adalah salah satu kunci kita terhindar dari kabar bohong atau hoaks.

Warganet mesti sering-sering diedukasi bahwa apa yang tersebar di media sosial belum tentu semua benar. Maka itu, mesti cerdas dalam menyaringnya. Kalaupun informasi itu sampai kepada kita, cukup di kita saja. Tak usah meneruskan kepada yang lain sampai kita yakin kalau informasi itu benar-benar tepercaya.

Ibu saya suka sekali dengan Baim Wong. Semua informasi soal Baim Wong ia tonton di Youtube. Saya pernah sampaikan ke ibu, jangan semua informasi yang ia dapatkan entah dari mana itu, kemudian disebarluaskan. 

Saya tegaskan, "Bu, enggak semua yang ibu baca, ibu dengar, ibu tonton itu benar. Ada yang memang direkayasa untuk keperluan muatan atau konten di Youtube."

Alhamdulillah ia menerima. Sebelum itu, ia rajin saja meneruskan semua informasi ke grup-grup keluarga. Padahal tak semua kabar itu benar. Ada yang terjadi tapi sudah direkayasa. Apalagi untuk urusan konten di Youtube, ya karena sudah jadi mata penghasilan, orang mau-mau saja merekayasa seolah-olah kejadian nyata.

Kuncinya dua deh sebagai sebuah simpulan tulisan ini. Skeptislah terhadap kabar yang datang. Curigailah informasi yang datang jika ia tak masuk akal dan logika atau malah berlebihan. Kedua, disiplinlah dalam melakukan verifikasi. Cek sebanyak mungkin sumber, terutama media arus utama yang terpercaya. [Adian Saputra]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun