Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pemukul Kasti Kelas 6 C

13 Agustus 2016   06:29 Diperbarui: 13 Agustus 2016   07:24 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"NDRI, pukul bolanya yang kuat." Suara Nurhadi terdengar keras.

Andri mengangguk. Tangan kanannya memegang pemukul kasti dari kayu yang kokoh. Tangan kirinya diangkat ke depan sejajar dengan bahu. Pelempar bola dari pihak lawan, kelas 6 A, sudah siap dengan bola kasti berwarna kuning di tangan.

Hup, bola dilempar. Kencang seperti angin. Mata Andri bersiap. Saat bola dalam perkiraan tepat untuk dipukul, Andri mengayunkan pemukul. Kena! Bola hasil pukulan Andri melenting ke udara, cukup jauh. Tim musuh segera berlari. Sementara tim lawan mencoba mengejar bola, Andri berlari ke arah base. Seperti anak kijang, Andri berlari ke base I, II, ...dan III. Beberapa temannya yang sedari tadi berada di base III sebagai base terakhir, berlari berhamburan ke kubunya demi mendapatkan nilai. Dan mereka berhasil.

Bola pukulan Andri sudah ada di pihak lawan. Andri kini terjepit oleh belasan lawan. Mau kembali ke base III jelas tidak mungkin. Satu-satunya pilihan adalah masuk ke kubu demi mendapat nilai. Kini dialah satu-satunya harapan dari tim karena nilai dua kubu sama. Jika Andri bisa masuk, nilai didapat. Jika Andri gagal, kelas 6 C mengulang kegagalan bulan lalu yang juga takluk dari VI A yang memang dikenal jago main kasti.

Bola dilempar ke sana ke mari dari pihak lawan. Sementara Andri terkurung. Target mereka cuma satu, melempar bola kasti itu ke badan Andri, supaya satu-satunya harapan anak kelas 6 C musnah.

"Lari Ndriiiii." Itu suara Nurian, siswa paling cerewet di kelas. Padahal tuh anak kalau main kasti pasti jadi korban dicap pakai bola.

Andri masih saja dikepung. Setiap ada lawan yang mulai membidik bola, ia berlari ke arah lain.

"Dekati Richard! Kali ini teriakan datang dari Faiz. Faiz ini kalau main memang gesit. Dengan ukuran badan yang kurus dia dengan mudah berlari sambil berbelok-belok supaya tidak kena bola yang dilempar lawan.

Dapat. Bola kini dipegang Richard. Andri rupanya mencoba melakukan tipuan. Melihat Andri agak menjauh tetapi masih cukup dekat untuk dilempar dengan bola, Richard kemudian mengarahkan lemparan bola kepada Andri. Andri sekali berlari mengelilingi punggung Richard.

Richard seperti tidak senang dengan kelakuan Andri. Setelah dirasa tepat untuk melempar, bola kasti berwarna kuning itu ditembakkan ke arah Andri. Bola kasti meluncur dengan deras. Posisi Andri persis di muka bola. Bola semakin dekat. Jika kena, pasti bola bundar itu akan menghajar badan Andri. Namun, Andri cekatan. Setelah yakin bola sebentar lagi mengenai tubuhnya, Andri segera menjatuhkan diri. 

Pas sekali. Bola yang dilempar Richard kemudian melesat jauh sehingga tidak bisa ditangkap pemain lain. Andri kemudian lari ke home base dan kelas 6 C memastikan kemenangan mereka atas 6 A. Semua murid 6 C bersorak kegirangan.
 *
 "TEMAN-TEMAN, ada yang lihat pemukul kasti tidak?" tanya Nurhadi, sang ketua kelas.

 Anak-anak tidak ada yang menjawab. Beberapa di antara mereka cuma bisa menggeleng.

"Kemarin saya taruh di bawah meja. Tapi kok hari ini tidak ada. Tadi juga sudah saya tanya yang kebagian piket pagi. Namun yang piket juga tidak tahu," kata Nurhadi menjelaskan, meski teman-temannya belum ada yang bersuara.

"Kamu lupa kali, Nur," kata Nurian, siswa laki-laki yang cerewet alias bawel.

"Mungkin..." kata Nurhadi sambil menghela napas. Mungkin batinnya merasa bersalah telah teledor menyimpan pemukul kasti satu-satunya milik kelas ini. Mau curiga juga tidak mungkin karena selama ini sekolah mereka aman-aman saja. Setiap kelas juga punya pemukul kasti. Bisa saja sih melapor ke guru mata pelajaran olahraga. Cuma, pemukul kasti itu sudah menjadi kebanggaan kelas. Maklum saja yang memberikannya ialah Bapak Misdi Hartono, wali kelas mereka sejak kelas III. Kini Bapak Misdi pindah ke sekolah lain sebagai kepala sekolah. Sebelum berpamitan, dia memberikan pemukul kasti kepada siswa yang diajarnya sejak kelas I. Sudah pasti hadiah itu sangat dikenang oleh anak-anak.

"Ya sudah, enggak apa-apalah, Nur. Besok kita beli pemukul yang baru. Atau kita minta orang untuk membuatnya.

"Kayaknya jarang ada toko yang menjual pemukul kasti. Lagian sekarang kan yang banyak dicari dan dipelajari di sekolah sofbol ama bisbol," kali ini Yerni yang bicara.

Pemukul kasti memang sudah jarang ada. Perkembangan olahraga kini membuat kasti jarang dimainkan. Yang jadi tren yakni sofbol dan bisbol. Akan tetapi, karena SDN 2 Rawalaut memang terkenal dengan olahraga kastinya, sampai sekarang masih dibudayakan.

"Kita usaha aja carinya. Kita minta buatin tukang kayu di tempat orang bikin kursi, meja, dan lemari," ini suara Amir Hasan, siswa bertubuh paling kurus di kelas.

"Ya sudah besok tolong temani saya mencari tempat membuat pemukul kasti," ujar Nurhadi.

"Uangnya biar pakai uang kas saja, Nur," kata Yerni yang menjabat bendahara kelas. Meski anak-anak ini relatif sederhana dan orang tuanya pun biasa-biasa saja, setiap hari Senin mereka selalu menyisihkan uang jajan untuk iuran uang kas kelas.
 *
NURHADI, Andri, Nurian, dan Yerni berjalan menyusuri Jalan Jenderal Sudirman, dekat sekolah mereka. Anak-anak itu menuju suatu tempat di mana Nurian pernah melihat ada tempat untuk membuat barang-barang dari kayu. Mereka menduga tukang yang bekerja di tempat itu mampu membuat pemukul kasti mereka.

Setelah lama celingak-celinguk, tak juga mereka mereka dapatkan tempat yang dibilang Nurian.

"Mana, Yan, kok dari tadi enggak sampai-sampai," tanya Nurhadi. Dari dahinya keluar keringat. Baju seragam putihnya juga sudah agak basah, terutama di bagian ketiak.

Yerni apalagi. Cewek satu-satunya itu sudah menghabiskan segelas air mineral sampai teman-teman cowoknya tidak ada yang kebagian. Ck..ck..ck.

"Kayaknya gua liat di sini. Kok enggak ketemu ya. Banyak tanah kosong lagi. Apa salah ya," Nurian ngomong sendiri.

Yang sudah kesal tentu Andri. Mulutnya sering monyong ke depan.

"Yakin di sini tempatnya, Yan," Nurhadi bertanya. Nada suaranya masih lembut, maklum ketua kelas, jadinya harus sabar dong.

"Ya yakin enggak yakin, hehehe," Nurian malah menjawab dengan menyeringai.

Mereka pun kemudian beristirahat di bawah sebuah pohon yang daunnya lebat. Lama juga mereka mengaso.

Tin, tin, tin. Ada suara klakson sepeda motor yang berbunyi. Seorang bapak dengan tubuh agak gemuk, berambut keriting kecil, membuka helmnya. Bapak Misdi Hartono.

Anak-anak histeris. Semua bangkit dari duduk-duduknya. Nurhadi yang pertama mencium tangan orang tua mereka itu. Disusul Andri dan Nurian. Yerni terakhir, bahkan sampai menangis segala. Bapak Misdi juga terharu. Tangannya mengelus kepala anak-anak tercintanya itu.

Setelah berbincang sejenak, Bapak Misdi menanyakan kenapa mereka ada di tempat itu. Nurhadi kemudian menceritakan semuanya, dari pemukul kasti yang hilang hingga mereka "terdampar" di tempat itu.

"Ya sudah, kalian pulang saja. Sudah sore. Nanti tiga hari lagi bapak ke sekolah," kata Bapak Misdi setelah mendengar penuturan Nurhadi.

Mereka pun akhirnya berpamitan. Keempat anak SDN 2 Rawalaut kemudian mencium tangan guru yang mereka sayangi itu kemudian pulang ke rumah masing-masing.

Tiga hari kemudian, kegembiraan mereka memuncak, tidak hanya mereka berempat, tetapi semua penghuni kelas, bergembira. Sebabnya Bapak Misdi Hartono benar-benar datang dan membawa hadiah untuk kelas 6 C: sebuah pemukul kasti yang baru. Kokoh, bagus, dan baru. Anak-anak senang, pemukul kasti mereka sudah ada lagi, pemberian guru mereka tersayang, meski sudah tidak mengajar lagi di sana: Bapak Misdi Hartono.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun