"Mana, Yan, kok dari tadi enggak sampai-sampai," tanya Nurhadi. Dari dahinya keluar keringat. Baju seragam putihnya juga sudah agak basah, terutama di bagian ketiak.
Yerni apalagi. Cewek satu-satunya itu sudah menghabiskan segelas air mineral sampai teman-teman cowoknya tidak ada yang kebagian. Ck..ck..ck.
"Kayaknya gua liat di sini. Kok enggak ketemu ya. Banyak tanah kosong lagi. Apa salah ya," Nurian ngomong sendiri.
Yang sudah kesal tentu Andri. Mulutnya sering monyong ke depan.
"Yakin di sini tempatnya, Yan," Nurhadi bertanya. Nada suaranya masih lembut, maklum ketua kelas, jadinya harus sabar dong.
"Ya yakin enggak yakin, hehehe," Nurian malah menjawab dengan menyeringai.
Mereka pun kemudian beristirahat di bawah sebuah pohon yang daunnya lebat. Lama juga mereka mengaso.
Tin, tin, tin. Ada suara klakson sepeda motor yang berbunyi. Seorang bapak dengan tubuh agak gemuk, berambut keriting kecil, membuka helmnya. Bapak Misdi Hartono.
Anak-anak histeris. Semua bangkit dari duduk-duduknya. Nurhadi yang pertama mencium tangan orang tua mereka itu. Disusul Andri dan Nurian. Yerni terakhir, bahkan sampai menangis segala. Bapak Misdi juga terharu. Tangannya mengelus kepala anak-anak tercintanya itu.
Setelah berbincang sejenak, Bapak Misdi menanyakan kenapa mereka ada di tempat itu. Nurhadi kemudian menceritakan semuanya, dari pemukul kasti yang hilang hingga mereka "terdampar" di tempat itu.
"Ya sudah, kalian pulang saja. Sudah sore. Nanti tiga hari lagi bapak ke sekolah," kata Bapak Misdi setelah mendengar penuturan Nurhadi.